Sabtu, 02 Juli 2011

Perkawinan Adat Suku Asmat, Bgu, dan Moi

PERKAWINAN ADAT SUKU-SUKU DI PAPUA

BAB I
PENDAHULUAN

A. LatarBelakang
Indonesia memiliki berbagai macam suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dengan kebudayaan yang berbeda-beda. Keanekaragaman ini merupakan aset atau modal dalam pengembangan budaya nasional, kendati juga membawa konsekuensi pada keberagaman adat-istiadat, khususnya dalam adat perkawinan.

Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di wilayah paling Timur Negara Republik Indonesia. Papua memiliki beragam suku, ada suku Asmat, suku Dani, Suku Moi, dan masih banyak suku-suku lainnya. Masing-masing suku memiliki hukum adat, kekerabatan dan adat perkawinan yang berbeda. Untuk mengetahui keberagaman dan perbedaan tersebut, kami sebagai penulis akan membahas tentang adat perkawinan suku-suku di Papua.
Suku yang akan kami angkat dalam makalah ini adalah suku Asmat, suku Bgu dan suku Moi. Untuk mengetahui adat perkawinan suku-suku tersebut, kami akan membahasnya secara rinci dalam makalah ini.


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah diantaranya sebagai berikut.
1. Bagaimanakah perkawinan adat pada suku Asmat?
2. Bagaimanakah perkawinan adat pada suku Bgu?
3. Bagaimanakah perkawinan adat pada suku Moi?

C. Tujuan
Adapun tujuan dalam makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui perkawinan adat pada suku Asmat.
2. Untuk mengetahui perkawinan adat pada suku Bgu.
3. Untuk mengetahui perkawinan adat pada suku Moi.









BAB II
PEMBAHASAN

1. Perkawinan Adat pada Suku Asmat
Suku Asmat berdiam di daerah terpencil yang merupakan alam asli di sekitar pantai Barat Daya Papua. Dalam suku Asmat, gigi-gigi anjing memang bernilai tinggi bagi suku Asmat dan sering dijadikan sebagai mas kawin atau pomerem bagi keluarga pihak wanita.

Dalam adat perkawinan suku Asmat, sebenarnya tidak ada upacara khusus, namun saat ada laki-laki dan wanita suku Asmat yang akan menikah, pihak laki-laki harus “membeli” wanita pilihannya dengan menawarkan mas kawin berupa piring antik dan uang yang nilainya disetarakan dengan perahu Johnson (sejenis perahu motor yang biasanya digunakan melaut). Bila ternyata ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu Johnson, maka pihak pria wajib melunasinya dan selama masa pelunasan pihak pria dilarang melakukan tindakan aniaya walaupun sudah diperbolehkan tinggal dalam satu atap.

Dalam memenuhi kebutuhan biologisnya, baik kaum pria maupun wanita melakukannya di ladang atau kebun, disaat prianya pulang dari berburu dan wanitanya sedang berkerja di ladang. Selanjutnya, ada peristiwa yang unik lainnya dimana anak babi disusui oleh wanita suku ini hingga berumur 5 tahun.

Dalam suatu perkawainan, mas kawin dikumpulkan dari keluarga dan saudara-saudara pihak laki-laki, untuk disampaikan dan dibagikan kepada keluarga dan saudara-saudara pihak wanita. Umumnya perkawinan diatur orang tua kedua belah pihak tanpa sepengatahuan anak-anak mereka. Perkawinan yang direncanakan ini disebut tinis. Di samping itu, dikenal dua cara perkawinan yang disebut persem dan mbeter.

Persem adalah perkawinan yang terjadi akibat adanya hubungan rahasia antara seorang pemuda dengan seorang pemudi yang kemudian diakui secara sah oleh orang tua kedua belah pihak. Sedangkan mbeter adalah perkawinan lari, yaitu bila lelaki melarikan anak perempuan untuk dikawini. Dalam hal ini dapat timbul pertikaian antara kedua belah pihak. Dalam suatu perkawinan yang direncanakan, peminangan dilakukan orang tua pihak wanita. Melalui perkawinan, seorang suami memperoleh hak atas daerah ikan milik mertua laki-lakinya.

Sifat perkawinan dalam masyarakat Asmat adalah berdasarkan prinsip eksogami. Jadi, perkawinan antara anggota-anggota dari klen yang berbeda dibolehkan. Perkawinan endogami dapat terjadi hanya bila pihak-pihak yang berkepentingan tidak berasal dari satu garis lurus keturunan. Sebelum wanita Asmat kawin, ia termasuk klen ayahnya. Tetapi begitu kawin, ia mengikuti klen suaminya dan menetap bersama keluarga suaminya. Bila suami meninggal, istri dan anak-anak tetap tinggal bersama keluarga suami. Mereka menjadi tanggung jawab keluarga suaminya. Karena orang-orang Asmat menjalankan leverat, maka saudara laki-laki dari yang meninggal dapat mengawini jandanya.

Dalam hal ini dapat terjadi poligami, karena sering lelaki yang mengawini janda itu sudah mempunyai istri terlebih dahulu. Istri pertama dan anak-anaknya kembali ke klen asalnya. Namun demikian, pada prinsipnya orang-orang Asmat menganut sistem patrilineal sehingga dalam pewarisan misalnya, hak milik ditetapkan menurut garis keturunan bapak.

2. Perkawinan Adat pada Suku Bgu

Orang Bgu disebut juga orang Bonggo. Orang luar menyebut mereka sebagai orang Bonggo, tetapi mereka sendiri menyebut diri sebagai orang Bgu. Mendiami daerah sekitar muara sungai Wiruwai, lebih kurang 120 km sebelah Barat kota Jayapura, provinsi Papua. Daerah ini berawa-rawa dan dialiri oleh sungai-sungai kecil yag berasal dari pegunungan Irie dan Siduarsi.


Dalam suku Bgu, adat mereka mengijinkan seseorang lelaki mempunyai beberapa orang istri. Masuknya pengaruh agama Nasrani, perkawinan mereka cenderung monogami. Mas kawin yang mereka sebut krae amat penting artinya dalam hubungan kekerabatan, terdiri dari berbagai perhiasan, seperti cincin yang terbuat dari kulit krang (sebkos), kalung yang terbuat dari untaian merjan (mote), kalung yang dibuat dari untaian gigi anjing (kdarf), sabuk yang dibuat dari anyaman merjan (bitem), gelang dari merjan (mak) dan gelang kaki yang terbuat dari untaian tali-tali (weikoki). Selain itu harus pula ditambah dengan pakaian,bahan pakainan, alat-alat dapur dan wadah-wadah. Kalau mas kawin tetap belum diabayar sampai anak lahir, maka anak itu diadopsi oleh kerabat pihak ibu, cara ini disebut teiyamekyo, upacaranya disebut wendedka.


3. Perkawinan Adat pada Suku Moi

Suku Moi merupakan suku asli yang mendiami daerah Sorong dan Raja Ampat. Pada tahun 2003, Kabupaten Sorong dimekarkan menjadi Kabupaten Sorong Selatan dan Kabupaten Sorong Kepulauan (Raja Ampat), kesemua wilayah ini masih merupakan satu rumpun suku Moi. Suku Moi tersebar di daerah pulau Waigeo, Pulau Missol, Pulau Salawati, dan Pulau Batanta (pulau yang terletak diantara Pualu Salawati dan Waigeo).

Hubungan dalam adat suku Moi merupakan bagian yang penting dalam menjalin hubungan persaudaraan, persahabatan, maupun perkawinan. Suku Moi melakukan hubungan kekerabatan melalui perkawinan. Hubungan itu juga disebut simin (rumah tangga) sebagai hubungan diantara marga atau Keret.

Dalam hubungan kekerabatan, sistem perkawinan suku Moi pada dasarnya dibentuk berdasarkan sistem Omaha, dimana larangan perkawinan setelah beberapa keturunan, menghasilkan pemisahan tegas antara kekerabatan dan keturunan. Namun yang terjadi dalam suku Moi tidak berlaku teori Levi-Steauss ini, karena larangan perkawinan berdasarkan sepupu garis ibu (matrilateral) yang membedakan antara kekerabatan dan keturunan, tidak berlaku. Yang terjadi dalam suku Moi adalah perpaduan antara klasifikasi perkawinan berdasarkan kekerabatan dan perkawinan berdasarkan garis keturunan dari pihak ibu.

Seperti suku-suku lainnya di Nusantara, umumnya tahapan perkawinan suku Moi meliputi tiga tahapan yakni:
1. Peminangan beserta ikatan (kamfabe).
2. Pelaksanaan pesta perkawinan (simin).
3. Penyerahan mas kawin pertama (kamsakwo) dan kedua (libla salek).
Tahapan dalam proses perkawinan ini dimaksudkan sebagai bentuk penghargaan akan nilai kesakralan perkawinan dan bentuk kekeluargaan di antara kedua keluarga dan keret juga menghindari adanya perzinahan. Di sela-sela pesta perkawinan terdapat prosesi seperti persiapan pengantin perempuan, menghias, mengantar pengantin dan duduk bersama menyantap papeda (wely sik nin) sambil mendiskusikan jumlah mas kawin yang akan dibayarkan oleh pihak laki-laki. Hal itu merupakan tata cara perkawinan yang terdapat pada suku Moi. Tentang mas kawin dan penetapan mas kawin dalam beberapa kali diskusi bersama ketua-ketua adat dan tokoh adat yang disebut “Yolom Yefai” menetapkan beberapa hasil-hasil kemufakatan. Jenis barang mas kawin adalah kain timor dan barang-barang campuran seperti kain cita, piring tua, gong (kaleng kla), parang tua (sinwak), manik-manik (liblatuk). Mengenai jumlah dan jenisnya pada waktu lampau ditentukan oleh pihak perempuan dan disetujui oleh pihak pria, belum ada ketegasan jumlah dan jenisnya. Penyerahan mas kawin ini sangat erat dengan nilai agama yang dianut oleh suku Moi saat ini tentang adanya mas kawin/mahar yang tertuang dalam kitab suci agama Kristen dan Islam, menjadi jelas bahwa keberadaan mas kawin tidak dapat ditolak.

Tahap pertama perkawinan suku Moi yaitu peminangan. Bila sudah waktunya seorang anak laki-laki dipandang cukup siap untuk menikah, maka orang tuanya akan mencarikan seorang gadis untuk dijadikan istri bagi anaknya. Diadakanlah acara pinangan dengan mendatangi rumah orang tua gadis lalu menyampaikan maksudnya dengan kalimat perumpamaan dan kata-kata kiasan seperti “Saya ingin mengambil anak pisang yang ada di depan rumah ini, untuk saya tanam di halaman rumah saya”.
Bila orang tua gadis paham maksudnya dan bersedia, maka keesokan harinya orang tua gadis akan mengunjungi rumah orang tua laki-laki untuk mengambil ikatan pertama dalam bentuk piring tua, lalu piring tadi diberikan pada anak gadisnya agar si gadis paham bahwa dia akan segera dinikahkan dan piring ini sebagai tanda dari laki-laki tersebut.

Kedua kalinya orang tua gadis datang lagi ke rumah orag tua laki-laki untuk mengambil bukti ikatan yang kedua berupa kain timor dan sekaligus menentukan waktu pernikahan. Barang-barang ini disebut barang ikata atau “kamfawe”. Setelah penerimaan lamaran, pihak prempuan melakukan persiapan yang dimulai dengan memandikan anak gadis yang akan dinikahkan sambil diberi nasihat oleh ibu-ibu suku Moi dan disaksikan oleh ibu-ibu yang lain. Setelah gadis dimandikan, kemudian dihiasi dengan pakaian, kain timor, sarung, gelang-gelang, manik-manik, perhiasan telinga, serta mahkota sambil menyanyikan lagu-lagu rakyat yang mengisahkan asal-usul kedua keluarga ini. Apabila calon pengantin perempuan telah siap dihias, maka pihak perempuan akan mendatangi keluarga laki-laki untuk menyampaikan jumlah mas kawin yang akan diserahkan oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan.

Setelah permintaan mas kawin dari pihak perempuan terpenuhi, maka mas kawin tersebut dibawa pulang oleh utusan keluarga untuk dibawa kepada keluarga perempuan. Sesampainya di rumah, piring berisi air yang telah disiapkan, dipercikkan empat kali pertanda mereka siap mengantarnya ke keluarga laki-laki dimana calon suami telah menunggunya. Sesampainya di rumah laki-laki, calon pengantin perempuan didudukkan di atas tikar sambil menunggu keluarnya calon pengantin laki-laki dari dalam kamar. Setelah calon pengantin laki-laki keluar, maka didudukkan brhadap-hadapan dan diantarlah papeda yang disebut weli sik nin ini diantara keduanya dengan 2 buah gata-gata (sendok dari bambu). Tembakau yang sekarang dikenal dengan rokok atau (sebak) yang merupakan alat pembayaran dan juga dipakai dalam prosesi pernikahan adat selain papeda. Dengan menyendok papeda dan memutarnya sebanyak empat kali atau rokok dengan mengisapnya sebanyak emapt kali merupakan tanda sahnya pernikahan adat ini. Setelah menyendok dan memutar maupun mengisap tembakau atau rokok, kemudian menyerahkan papeda atau rokok tadi kepada para saksi-saksi, baik saksi dari pihak perempuan maupun laki-laki menjadi sahnya sebuah pernikahan yang kemudian dilanjutkan dengan makan bersama-sama yang telah disiapkan.

BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Suku-suku di Papua seperti suku Asmat, Bgu dan Moi, memiliki adat perkawinan yang hampir sama. Proses perkawinan diawali dengan peminangan. Selanjutnya mas kawin ditentukan atau disepakati bersama antara pihak laki-laki dan pihak perempuan.

Sifat perkawinan dalam masyarakat Asmat adalah berdasarkan prinsip eksogami, yaitu memperbolehkan perkawinan anggota-anggota dari klen yang berbeda. Kalau dalam suku Bgu, adat mereka mengijinkan seseorang lelaki mempunyai beberapa orang istri, atau cenderung monogami. Sedangkan dalam adat suku Moi, proses perkawinan dimulai dengan pinangan dan ikatan, selanjutnya pengantin perempuan dimandikan, setelah dimandikan kemudian dihiasi dengan pakaian, gelang, manik-manik, dan lain sebagainya. Setelah itu pihak keluarga perempuan mengantar perempuan ke rumah pihak laki-laki, barulah setelah itu prosesi pernikahan adat dilaksanakan.

B. Saran

Demikianlah makalah ini dibuat. Mudah-mudahan isi dalam makalah ini bermanfaat bagi penulis dan para pembaca makalah ini. Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat dibutuhkan untuk memperbaiki makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA

Suharjanto, et.all, Antropologi SMU Kelas 3, Surakarta: Pabelan, Cet.I, 1996
www.google.com, Adat Pernikahan Suku Asmat Diakses pada tanggal 8 Juni 2011

Supriyanto, Antropologi Kontekstual SMA/SMU, Surakarta: Mediatama, Cet.I, 2007
Stepanus Malak dan Wa Ode Likewati, Etnografi Suku Moi Kabupaten Sorong, Papua Barat, Bogor: Penerbit Buku Ilmiah Populer PT. Sarana Komunikasi Utama, Cet.I, 2011
Stepanus Malak, Kapitalisasi Tanah Adat, Bandung: Yayasan Bina Profesi Mandiri, Cet.I, 2006,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar