PEMIKIRAN IBNU ABBAS TENTANG TAFSIR DAN TA’WIL
A. Pendahuluan
Melacak pemikiran ulama tafsir adalah sebuah penjelajahan menarik, apalagi tokoh yang akan “dibedah” pemikirannya itu adalah orang ‘alim yang hidup di zaman klasik. Mempelajari khazanah masa lalu (sejarah), khususnya di bidang tafsir Al-Qur’an, bukan saja penting, bahkan sangat penting bagi umat Islam, terutama kaum pelajar. Pasalnya dari ulama-ulama tafsir klasik itu kita bisa melihat sejauh mana keseriusan umat Islam dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Tidak sekedar mengetahui dan mengukur tingkat intensitas hubungan antara teks dan penafsir-penafsirnya, bahkan juga membaca sejauhmana dialektika antara teks dan konteks yang melatari para mufasir tersebut tercipta.
Mengetahui corak pemikiran ahli tafsir yang berada dalam zaman yang berbeda seperti periode klasik, tengah dan modern akan melahirkan pemahaman yang akurat, terutama pemikiran ulama tafsir yang masa hidupnya dekat dengan masa Nabi Muhammad SAW, yaitu ulama tafsir pada periode klasik.
Ibnu Abbas adalah salah seorang dari sederatan mufasir zaman klasik yang dengan pemikirannya ia telah menyumbangkan ilmu yang luar biasa, terutama dalam tafsir Al-Qur’an. Walaupun pada mawsa itu belum menggunakan istilah mufasir namun sederatan nama yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur’an yaitu, empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Sabit, Abu Musa Al-‘Asy’ari, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash dan Aisyah.
Sebagai salah seorang sahabat yunior, tentu pemikiran tentang tafsir akan sangat dekat dengan penafsiran yang diperolehnya dari Nabi Muhammad SAW. Untuk hal tersebut penulis akan mencoba mengungkapkan corak pemikiran Ra-isul Mufassirin ini tentang Al-Qur’an, Tafsir dan Ta’wil.
Library Research adalah metode penelitian yang penulis gunakan, dan karena keterbatasan bacaan tentu makalah ini belum lagi sempurna. Penulis yakin dari diskusi serta masukan dari peserta diskusi dan dosen pengampu akan menyempurnakan tulisan ini dan Insya Allah kita bisa melihat Al-Qur’an sebagai “Hudan” dari kacamata Habbrul Ummuh ini. Allahumma Yassir lana.
B. Setting Historis-Biografis Ibnu Abbas
1. Potret Kehidupan Awal
Ibnu Abbas (Mekah ± 3 SH-Ta’if 68 H). Nama lengkapnya Abdullah bin Abbas bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul Manaf al-Quraisy. Ia adalah saudara sepupu Nabi SAW, karena ayahnya besaudara dengan ayah Nabi SAW (Abdullah bin Abdul Muttalib). Di samping itu, bibinya dari pihak ibu, yaitu Maimunah binti Haris (w. 61 H/681 M), adalah salah seorang istri Rasulullah SAW.
Di masa kanak-kanaknya, Ibnu Abbas memperoleh pendidikan di rumah Nabi SAW. Ia banyak menyertainya, memperoleh ilmu serta menyaksikan berbagai peristiwa turunnya sebahagian ayat Al-Qur’an. Nabi SAW pernah mendo’akannya ketika ia masih kanak-kanak; do’a-do’anya antara lain berbunyi; Allahumma ‘allimhu al-kitab wa al-Hikmah dalam riwayat lain Allahumma faqqihhu fi al-din wa ‘allimhu al-takwil. Setelah Nabi SAW wafat, ia melengkapi ilmunya dengan bergaul dengan para sahabat besar, seperti Umar bin Khattab (561-644 M), Ali bin Abi Thalib (603-661 M), Mu’az bin Jabbal (20 SH/603 M-18 H/639 M), dan Abu Zar al-Giffari (w.32 H). Dari mereka inilah ia memperoleh pengetahuan tentang tempat-tempat dan sebab-sebab turunnya Al-Qur’an serta sejarah perundang-undangan Islam. Ia mempunyai pengetahuan yang luas tentang aspek-aspek bahasa Arab.
Karenanya, di dalam menjelaskan lafal Al-Qur’an ia sering menyitir bait-bait sya’ir Arab. Ia memiliki kemampuan yang tinggi dalam berijtihad, berani dalam menjelaskan apa yang diyakininya benar, dan terbuka untuk menerima kritik dari orang lain. Diantara sahabat yang banyak mengkritiknya adalah Abdullah bin Umar (Ibnu Umar).
2. Kedudukan dan Kilmuannya
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, guru besar di bidang ilmu Al-Qur’an dan Hadits dari Universitas al-Azhar, menyebutkan bahwa: do’a dari Nabi SAW telah menyebabkan Ibnu Abbas memiliki reputasi ilmiah yang tiggi di kalangan para sahabat. Mereka menjulukinya dengan Turjumanul Qur’an (juru Tafsir Al-Qur’an), Habrul Ummah (tokoh ulama umat) dan Raisul Mufassirun (pemimpin para mufassir). Baihaqi dalam ad-Dala-il meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang mengatakan: “Juru tafsir Qur’an paling baik adalah Ibnu Abbas”. Abu Nu’aim meriwayatkan keterangan dari Muhajid, “Adalah Ibnu Abbas dijuluki orang dengan al-Bahr (lautan) karena banyak dan luas ilmunya. “Ibn Sa’ad meriwayatkan pula dengan sanand sahih dari Yahya bin Sa’id al-Anshari: Ketika Zaid bin Sabit wafat Abu Hurairah berkata Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai penggantinya.
Ketika Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, Ibnu Abbas diangkat menjadi amir di Basra. Namun, ia melepaskan jabatannya sebelum Ali terbunuh. Dalam Perang Siffin (37 H/657 M), yakni perang antara pihak Ali dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan (603-680), ia termasuk salah seorang komandan pasukan Ali.
Ibnu Abbas meninggal dunia di Ta’if, Saudi Arabia, pada tahun 68 H dalam usia 70 tahun. Jenazahnya dishalatkan dan dimakamkan oleh Muhammad bin Hanafiyah.
C. Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibnu ‘Abbas
Ibnu Abbas adalah seorang di antara sepuluh sahabat yang terkenal sebagai mufassir. Otoritasnya di dalam menafsirkan Al-Qur’an diakui oleh para sahabat. Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa didalam menafsirkan Al-Qur’an, Ibnu Abbas seakan-akan melihat yang ghaib dari tabir yang tipis. Artinya, Ibnu Abbas dapat melihat secara jelas persoalan yang dipandang gelap oleh orang lain. Umar bin Khattab serta banyak sahabat-sahabat lainnya yang merujuk kepadanya apabila mereka mengalami kesulitan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Satu jilid besar tentang tafsir dinisbahkan kepada (dinyatakan berasal dari) Ibnu Abbas. Tafsir ini telah dihimpun oleh Abu Tahir Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi (w.817 H), seorang ulama Mazhab Syafi’i. tafsir ini telah dicetak beberapa kali di Mesir. Beliau berhasil menghimpun atau mengumpulkan dan melakuka sistematika terhadap tafsir yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas.
Namun karena tafsir ini sifatnya periwayatan, maka pembaca tafsir ini harus kritis melihatnya, sebab sebagaimana lazimnya riwayat, validitas dan otentitasnya perlu diteliti, minimal melalui kritik sanad.
Didalam menafsirkan Al-Qur’an, Ibnu Abbas merujuk kepada hadits yang didengarkan dari Rasulullah SAW dan berijtihad dengan menggunakan pengetahuan tentang latar belakang situasi dan kondisi turunnya Al-Qur’an. Disamping itu, ia merujuk kepada sya’ir jahiliah di dalam menjelaskan makna lafal-lafal Al-Qur’an dan kepada ahlul kitab di dalam memahami kisah dan berita tentang umat-umat terdahulu.
Sehubungan dengan rujukan kepada ahlulkitab, Ibnu Abbas mendapat kritik dari Ignas Goldziher (1850-1921), seseorang orientalis, dan Ahmad Amin, ahli sejarah dari Mesir, bahwa ia terlalu longgar dalam merujuk untuk menafsirkan Al-Qur’an. Muhammad Husain az-Zahabi membantah kritik tersebut karena, menurutnya, Ibnu Abbas merujuk kepada mereka dalam batas-batas sempit dan sejalan degan Al-Qur’an, sedangkan hal yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an tidak ia terima.
Ibnu Abbas, berbeda dengan sahabat yang lain, dalam memahami makna lafaz-lafaz Qur’an banyak merujuk kepada sya’ir-sya’ir Arab, karena pengetahuannya tentang seluk-beluk bahasa Arab sangat tinggi dan luas.
D. Pemikiran Turjumanul Qur’an
1. Tentang Al-Qur’an
Sebagai seorang sahabat muda, Ibnu Abbas dalam pemikirannya terhadap Al-Qur’an tentu tidak berbeda dengan Rasulullah SAW. Ibnu Abbas termasuk salah seorang sahabat yang banyak memberikan fatwa. Di dalam menggali hukum ia bersumberkan secara urut pada: Kitabullah (Al-Qur’an), sunnah Rasulullah SAW, fatwa para sahabat dan ijtihad dengan ra’yu.
Maka dari hal tersebut bisa kita temukan sikap dan pemikiran Ibnu Abbas yang tetap menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam menjalankan Islam. Tentang apa itu Al-Qur’an atau bagaimana Al-Qur’an menurut kacamata Ibnu Abbas penulis belum menemukan literatur yang menerangkan hal tersebut bahkan dalam Kitab tafsir yag dinisbahkan kepadanya.
Namun dari sedikit keterangan dalam uraian tafsir dan beberapa hadits Nabi SAW, bisa ditarik sebuah garis pemikiran Ibnu Abbas, bahwa Al-Qur’an adalah Katamullah yang menjadi sumber utama dalam hukum Islam. Jika dari segi pendefinisian, berbagai pendefinisaian telah diungkapkan oleh para ulama sesuai dengan latar belakang keahlian mereka masing-masing. Kaum teolog, misalnya, cenderung mendefinisikan dari sudut pandangan teologis seperti Khulabiyyah, Asy’ariyyah, Karramiyyah, Maturudiyyah dan penganut sifatiyyah lainnya “Al-Qur’an ialah Kalam Allah yang qadim tidak makhluk”.
Sebaliknya kaum Jahmiyyah, Mu’tazillah, dan lai-lain yang menganut paham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, menyatakan bahwa Al-Qur’an ialah “makhluk [tidak qadim]”. Sementara ini kaum filosof dan al-Shabiah, melihat Al-Qur’an dari sudut pandang filosofis. Itulah sebabnya mereka berpendapat bahwa Al-Qur’an ialah “makna yang melimpah kepada jiwa”. Disamping itu ahli bahasa Arab, ulama fiqih, ushul fikih, dan para mufasir, lebih menitikberatkan pengertiannya pada teks atau hafal yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW mulai dari surah Al-Fatihah sampai dengan surah An-Nas sebagaimana dinyatakan oleh Shubhi al-Shalih, Muhammad Ali al-Shabuni, dan lain-lain: Al-Qur’an ialah kalam Allah yang Mu’jiz, yang diturunkan kepada Nabi SAW dengan perantaraan Jibril, yeng tertulis dalam mushaf mulai dari surah al-Fatihah dengan surah an-Nas, yang disampaikan oleh Rasul Allah secara mutawatir, dan membacanya bernilai ibadah”.
2. Tentang Tafsir
Ibnu Abbas yang dinilai sebagai salah seorang sahabat Nabi SAW yang paling mengetahui maksud firman Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian; pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.
Dari pembagian di atas ditemukan dua jenis pembatasan, yaitu (a) menyangkut materi ayat-ayat (bagian keempat), dan (b) menyangkut syarat-syarat penafsir (bagian ketiga).
Dari segi materi terlihat bahwa ada ayat-ayat Al-Qur’an yang tak dapat diketahui oleh Allah atau oleh Rasul bila beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini mangandung beberapa kemungkinan arti, antara lain: (a) ada ayat-ayat yang memang tidak mungkin dijangkau pengertianya oleh seseorang, seperti ya sin, alif lam mim dan sebagainya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah yang membagi ayat-ayat Akl-Qur’an kepada muhkam (jelas) dan mutasyabihat (samar), dan bahwa tidak ada yang mengetahui ta’wil (arti)-nya kecuali Allah, sedang orang-orang yang dalam ilmunya berkata kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabih (QS 3:7).
Atau (b) ada ayat-ayat yang hanya diketahui secara umum artinya, atau sesuai dengan bentuk luar redaksinya, tetapi tidak dapat didalami maksudnya, seperti masalah metafisika, perincian ibadah, dan sebagainya yang tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal manusia.
Maka apapun yang dimaksud dari ungkapan sahabat tersebut, telah disepakati oleh para ulama, bahwa tidak seorang pun berwenang untuk memberikan penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat yang materinya berkaitan dengan masalah-masalah metafisika atau yang tidak dapat dijangkau oleh akal fikiran manusia. Penjelasan-penjelasan sahabat pun dalam bidang ini hanya dapat diterima apabila penjelasan tersebut diduga bersumber dari Nabi SAW.
3. Tentang Ta’wil
Istilah ta’wil memang sebuah istilah dalam ‘Ulum Al-Qur’an yang pernah menimbulkan polemik yang tajam di kalangan ulama, khususnya generasi mutaakhirin mulai sekitar abad ke-4 Hijriyah. Para ulama salaf termasuk dalam hal ini adalah Ibnu Abbas atau mutaqaddimin cenderung memahami istilah itu sama denga tafsir. Dengan demikian ‘takwil’ menurut mereka adalah sinonim (muradif) bagi ‘tafsir’. Artinya, ‘tafsir’ adalah ‘takwil’ dan ‘takwil’ adalah ‘tafsir’. Pengertian itu diambil dari pemahaman terhadap do’a Nabi SAW kepada Ibnu Abbas.
Pengertian seperti itu yang digambarkan itulah, menurut Ibn Taymiyah yang dimaksud oleh Mujahid. Pemahaman tentang ayat muhkam dan mutasyabih adalah satu sumber diskusi tentang takwil.
Pemikiran Ibnu Abbas tentang takwil sama dengan generasi sahabat senior yaitu Umar bin Khattab dan Imam Malik. Walaupun ada dua kubu yang menerima ayat mutasyabihat tanpa takwil dan yang menerima ayat mutasyabihat dengan takwil, dan yang menjadi bahan diskusi adalah QS. Ali Imran ayat 7. Maka untuk mengetahui pemikiran Ibnu Abbas tentang takwil, penulis melihat sisi lain yang paling dekat.
Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Aisyah adalah sahabat yag menyepakati waqaf pada kalimat; wama ya’mu takwiilahu illallahu, serta diikuti oleh Abu Hanifah, dan mayoritas ahli Hadits. Diantara alasan yang mereka jadikan sebagai sandaran adalah bahwa Allah SWT mencela orang-orang yang mengikuti mutasyabih dan menyifatinya sebagai orang-orang yang “hatinya condong kepada kesesatan dan berusaha menimbulkan fitnah”. Dari Aisyah disebutkan: Rasulullah SAW membaca ayat ini -yakni ayat 7 surah Ali-Imran- kemudian beliau bersabda: “Jika kalian melihat orang yang mengikuti/mendalami ayat-ayat mutasyabihat mereka itulah yang disinyalir Allah maka waspadalah kepada mereka”.
E. Penutup/Kesimpulan
Mengetahui pemikiran Ibnu Abbas tentang Al-Qur’an apabila merujuk pada kitab Tanwir Miqbas min tafsir Ibnu Abbas adalah sebuah kerja berat, karena kitab tafsir tersebut terkenal dengan kitab tafsir yang kontrofersi, disinyalir terdapat banyak uraian hadits yang jalusnya lemah yang sandarkan kepada Ibnu Abbas, disamping adanya kritik dari orientalitas terhadap penafsiran Ibnu Abbas.
Akan tetapi karena Ibnu Abbas mempunyai beberapa murid, seperti Mujahid, serta ulama tafsir abad tengah dan kontemporer, maka kita bisa melihat penilaian mereka terhadap pemikiran Ibnu Baas terhadap Al-Qur’an, Tafsir dan Ta’wil yang menurut penulis yang masih “murni” dan “hati-hati”. Dan tentu saja pemikiran beliau akan terus menjadi rujukan dari ulama tafsir dari zaman ke zaman. Wallahu alam bi al-Shawwab.
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzahabi, Muh. Husain, Al Tafsir wa al-Mufassiruun, Beirut, Dar al-Arqam bin Abi al-Arqam, 1976.
Al-Salman, Abd al-Aziz al-Muhammad, al-Kawasyif al-Jaliyyatan Ma’ani al-Washithiyyah, al-Mamlakat, al-Arabiyyah al-Suudiyyah, 1982.
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, ed. ‘Abd al-Aziz al Wakil, Beirut, Dar al-Fikr, t.t.
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Al-Halabiy, Mesir, 1957.
As-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut, Dar al-Fikr, 1979.
Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997.
Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah, I, t.t.
Manna’ Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Litera Antar Nusa, Bogor dan Jakarta, Cet.6. 2001, terjemahan Drs. Mudzakkir.
Manna Khalil al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Mansyurat al-Ashr al-Hadits, 1973.
Muhammad Ibnu Ya’qub al-Fairuzabadi, Abu Thahir, Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, Mesir, Syarikah Maktabah, 1951.
Mutaqim, Abdul, Aliran-aliran Tafsir, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2005.
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.
Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1994.
Subhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran, Beirut, Dar al-Ilm li al-Malayin, Cet.IX, 1997.
Yusuf, Muhammad, Studi Kitab Tafsir Menyuarakan Teks yang Bisu, Yogyakarta, Teras, 2004.
keren gan...
BalasHapusoea gan..., ketika rasul hidup kan, ibnu abbas itu masih sangat kecil, kenapa ia lebih banyak meriwayatkan hadits di banding dengan sahabat yang lebih senior..
Blog Personal Untuk Mahasiswa