DAKWAH ORGANISASI NU DAN MUHAMMADIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan dakwah Islam di Indonesia, pada dasarnya sejalan dengan masuknya Islam di Indonesia pada sekitar abad 7 M. Adapun kajian tentang dakwah di Indonesia masih relatif baru. Pembahasan dakwah bermula dari pembahasan khutbah dan dakwah dalam pengertian yang relatif terbatas. Dakwah pada ketika itu dipahami sebagai kegiatan khutbah dan tablig dalam arti sempit.
Aktivitas-aktivitas dakwah banyak dilakukan oleh organisasi keagmaan yang lebih berorientasi kepada pengembangan agama Islam di berbagai kalangan masyarakat. Dimana keterlibatan organisasi-organisasi dakwah dalam pengembangan ilmu dakwah juga dapat dirasakan pengaruhnya. Banyak sekali didirikan organisasi-organisasi keagamaan di Indonesia pada saat itu. Organisasi yang paling menonjol hingga kini adalah Muhammadiyah dan NU.
Setiap organisasi memiliki misi dan tujuan yang berbeda-beda. Begitu pula dengan organisasi Muhammadiyah dan NU. Di dalam makalah ini akan dibahas tentang proses dakwah dan pendekatan unsur-unsur dakwah pada masing-masing organisasi tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah diantaranya sebagai berikut.
1. Bagaimana pendekatan unsur-unsur dakwah pada organisasi Muhammadiyah?
2. Bagaimana pendekatan unsur-unsur dakwah pada organisasi NU?
C. Tujuan
Adapun tujuan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pendekatan unsur-unsur dakwah pada organisasi Muhammadiyah.
2. Untuk mengetahui pendekatan unsur-unsur dakwah pada organisasi NU.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pendekatan Unsur-unsur Dakwah Pada Organisasi Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta, pada tanggal 18 November 1912 M. Organisasi ini dibentuk sebagai bentuk kepedulian terhadap kondisi umat yang dikonsentrasikan pada perbaikan praktik kehidupan umat dan kesejahteraan mereka. Struktur dakwah pada organisasi Muhammadiyah meliputi unsur-unsur dakwah sebagai berikut.
a. Da’i
Pendiri organisasi Islam Muhammadiyah adalah KH. Ahmad Dahlan. Beliau menjabat sebagai pemimpin organisasi dari tahun 1912-1923. Beliau ini selain sebagai pemimpin organisasi juga sebagai ulama yang ikut menyebarkan dakwah Islam. Jadi, beliau bersifat al-ulama wa al-umara. Setelah KH. Ahmad Dahlan, posisi pemimpin digantikan oleh beberapa ulama diantaranya yaitu: KH. Ibrahim (1923-1932), KH. Hisyam (1932-1936), KH. Mas Mansur (1936-1942), Ki Bagoes Hadikoesoemo (1942-1953), Buya AR Sutan Mansur (1953-1959), KH. M. Yunus Anis (1959-1962), KH. Ahmad Badawi (1962-1968), KH. Faqih Usman (1968-1971), KH. AR Fachruddin (1971-1990), KH. A. Azhar Basyir (1990-1995), Prof.Dr.H. Amien Rais (1995-2000), Prof.Dr.H. Ahmad Syafi’i Ma’arif (2000-2005), dan Prof.Dr.H. Din Syamsuddin memimpin dua periode. Periode pertama (2005-2010) dan periode kedua (2010-2015). Ketigabelas orang ini ada yang hanya sebagai ulama saja, dan ada pula yang merangkap sebagai pemimpin. Sehingga corak da’i pada organisasi Muhammadiyah bercorak al-ulama, dan al-ulama wa al-umara.
b. Mad’u
Kondisi mad’u pada masa sebelum didirikannya Muhammadiyah dan organisasi Islam lainnya sudah termasuk mad’u ijabah, karena pada saat itu sudah banyak umat yang telah memeluk Islam. Namun, masih banyak pula mad’u yang menganut agama Hindu/Budha. Sehingga corak mad’u pada masa ini adalah mad’u ijabah dan ummah.
c. Materi
Materi dakwah yang diterapkan pada organisasi Muhammadiyah meliputi akidah, syari’ah dan muamalah. Akidah yaitu dengan mentauhidkan (meng-Esa-kan) Allah. Adapun syari’ah dengan diajarkannya tentang ilmu fiqih, nahwu, shorof dan ilmu qira’at. Sedangkan muamalah dengan diterapkannya zakat bagi orang muslim yang diserahkan ke Baitul Mal.
d. Metode
Ada bermacam metode yang digunakan dalam berdakwah pada organisasi Muhammadiyah diantaranya sebagai berikut.
1) Metode Kelembagaan
Muhammadiyah mendirikan banyak lembaga diantaranya lembaga pendidikan (mulai dari TK sampai perguruan tinggi), rumah sakit, balai kesehatan, rumah bersalin, panti asuhan, panti jompo, dan lembaga ekonomi. Ada pula lembaga pendidikan lain seperti pondok pesantren. Selain itu, dibentuk pula lembaga otonom Khusus Aisyiyah (organisasi wanita), Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), dan macam-macam lembaga lainnya.
2) Metode Pendidikan
Muhammadiyah telah berkiprah dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya di bidang pendidikan. Muhammadiyah mendirikan banyak lembaga pendidikan, mulai dari TK, SD, SMP, SMA, MI, MTs sampai perguruan tinggi.
3) Metode Ceramah
Untuk menyebarkan dakwah Islam, para ulama berdakwah dengan berceramah di masjid-masjid.
4) Metode Propaganda
Metode propaganda jelas digunakan untuk mempengaruhi massa untuk masuk dan memeluk agama Islam. Selain itu, di dalam metode ceramah juga terdapat unsur propaganda, yaitu mengajak orang untuk senantiasa berbuat kebajikan.
5) Metode Tanya-Jawab
Metode ceramah biasanya disertai dengan tanya jawab. Mad’u dapat mengajukan pertanyaan mengenai materi yang belum dikuasai atau dimengerti oleh mad’u dan da’i langsung menjawab pertanyaan mad’u tersebut, sehingga akan terjadi hubungan timbal balik antara da’i dan mad’u.
6) Metode Keteladanan
Salah satu metode yang digunakan dalam berdakwah adalah metode dakwah bil hal atau melalui keteladanan para ulama.
7) Metode Diskusi
Pemimpin dan pengurus organisasi selalu bertukar pikiran atau berdiskusi tentang bagaimana memajukan dan mensukseskan usaha dakwah atau untuk membahas program-program yang terstruktur dalam lembaga Muhammadiyah.
8) Metode Bimbingan Konseling
Para da’i atau ulama memberikan bimbingan kepada umatnya tentang tata cara shalat ataupun berwudhu terutama bagi mad’u yang masih awam atau mualaf.
9) Metode Silaturahmi
Untuk mempererat tali silaturahmi sesama muslim, maka diadakan perkumpulan atau kajian-kajian rutin yang telah diatur sesuai jadwal.
10) Metode Karya Tulis
Metode karya tulis pada organisasi Muhammadiyah yaitu dengan diterbitkannya buku-buku bernuansa islami, seperti majalah yang membahas tentang fiqih dan buku khusus yang menjelaskan tentang organisasi Muhammadiyah.
11) Metode Ekspansi
Metode ekspansi merupakan cara dakwah dalam menyebarluaskan pengajaran agama Islam kepada seluruh umat.
12) Metode Missi (Bi’tsah)
Untuk memperlancar gerakan dakwah, maka diadakan program khusus pengadaan atau pengiriman da’i-da’i di daerah dan korps mubaligh.
13) Metode Korespondensi
Sebelum para da’i dikirim ke daerah-daerah, terlebih dahulu diberi surat pengantar ke daerah-daerah yang akan didakwahi.
14) Metode Pemberdayaan Masyarakat
Aspek kehidupan yang ditanamkan Muhammadiyah selain pendidikan dan kesehatan adalah pemberdayaan masyarakat.
e. Media
Media dakwah yang digunakan pada oragnisasi Muhammadiyah diantaranya adalah:
1) Masjid
Salah satu media yang digunakan dalam berdakwah adalah masjid. Masjid selain sebagai tempat ibadah juga berfungsi sebagai tempat perkumpulan atau halaqah dan kajian-kajian.
2) Lembaga/kantor pemerintahan
Muhammadiyah memiliki kantor pemerintahan sebagai pusat segala kegiatan organisasi. Segala aktivitas dakwah yang telah terorganisir berlangsung di kantor ini.
3) Lembaga pendidikan
Media dakwah dalam lembaga pendidikan yaitu pesantren dan sekolah-sekolah.
4) Lembaga Kesehatan
Lembaga kesehatan yaitu dengan didirikannya rumah sakit, balai kesehatan, dan rumah bersalin.
5) Media cetak
Media cetak yaitu dengan dicetak dan diterbitkannya buku-buku bernuansa islami dan buku khusus tentang keorganisasisan Muahmmadiyah.
2. Pendekatan Unsur-unsur Dakwah Pada Organisasi NU
Nahdlatul Ulama (NU) artinya kebangkitan ulama, adalah organisasi massa Islam yang didirikan oleh para ulama pesantren di bawah pimpinan KH. Hasyim Asy’ari, di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Organisasi ini didirikan dengan maksud untuk mewujudkan masyarakat demokratis dan berakhlakul karimah. Struktur dakwah pada organisasi NU meliputi unsur-unsur dakwah sebagai berikut.
a. Da’i
Pemimpin pertama organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) adalah KH. Hasyim Asy’ari. Beliau selain sebagai pemimpin juga ikut aktif berperan menyebarkan dakwah Islam, sehingga beliau bersifat al-ulama wa al-umara. Tokoh ulama yang ikut mendirikan NU adalah KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syamsuri, dan KH. Ma’shum Lasem. Para tokoh ulama ini hanya bersifat al-ulama saja, karena mereka tidak merangkap jabatan sebagai pemimpin.
b. Mad’u
Kondisi mad’u pada masa sebelum didirikinnya NU sudah termasuk mad’u ijabah, karena pada saat itu sudah banyak umat yang telah memeluk Islam. Namun, masih banyak pula mad’u yang menganut agama Hindu/Budha. Sehingga corak mad’u pada masa ini adalah mad’u ijabah dan ummah.
c. Materi
Materi dakwah yang diterapkan pada organisasi NU meliputi akidah, syari’ah dan muamalah. NU menanamkan akidah dan mengukuhkan syari’ah, mazhab-mazhab fikih, serta praktek sufi yang merupakan inti spiritualitas mereka. Sedangkan muamalah dengan diterapkannya zakat bagi orang muslim, baik itu zakat fitrah maupun zakat mal. Pada organisasi NU ada sebuah lembaga yang khusus menangani masalah zakat yaitu Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah NU (LAZIS NU).
d. Metode
Ada bermacam metode yang digunakan dalam berdakwah pada organisasi NU diantaranya sebagai berikut.
1) Metode Ceramah
Untuk menyebarkan dakwah Islam, para ulama berdakwah dengan berceramah di mesjid-mesjid.
2) Metode Propaganda
Metode propaganda jelas digunakan untuk mempengaruhi massa untuk masuk dan memeluk agama Islam. Selain itu, di dalam metode ceramah juga terdapat unsur propaganda, yaitu mengajak orang untuk senantiasa berbuat kebajikan.
3) Metode Pendidikan
Lapangan usaha NU meliputi bidang pendidikan, seperti pendidikan di pesantren dan sekolah-sekolah formal seperti MI, MTs, MA, SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi.
4) Metode Kelembagaan
NU sendiri merupakan sebuah lembaga atau wadah yang menampung aspirasi-aspirasi tokoh agama yang terbentuk dalam sebuah organisasi politik. Selain itu juga ada lembaga pendidikan seperti pesantren dan sekolah-sekolah. Selain itu, dibentuk pula lembaga-lembaga otonom yang berfungsi melaksanakan kebijakan-kebijakan NU, seperti Lembaga Dakwah NU (LDNU), Lembaga Pendidikan Ma’arif NU (LP Ma’arif NU), dan lembaga otonom lainnya. Telah dibentuk pula kelompok-kelompok pengajian yang dibina oleh para ulama yang tersebar di daerah Pangkep terutama daerah kepulauan Maros, Polmas, (sekarang Sulawesi Barat) dan beberapa tempat lainnya.
5) Metode Keteladanan
Para ulama memiliki sifat dan kepribadian yang baik dan patut dicontoh. Seperti tokoh NU, KH. Abdurrahman Wahid yang pernah menjadi presiden RI keempat. Beliau dikenal sebagai pribadi yang baik, ramah, bertoleransi tinggi terhadap agama lain, dan menyelesaikan masalah dengan sangat bijaksana. Karena kepribadian beliaulah, maka banyak orang dari berbagai suku dan agama simpatik terhadapnya.
6) Metode Kesenian
Metode kesenian dengan dibentuknya Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (LESBUMI). Metode kesenian ini dengan cara mengadakan lomba qira’at, seni musik qasidah, tarian Islam seperti tari samrah, dan bermacam seni lainnya,
7) Metode Pemberdayaan Masyarakat
Para ulama ikut serta membantu perekonomian masyarakat dan membantu mengolah sumber daya alam yang mereka miliki. Hal ini diwujudkan dengan dibentuk Lembaga Pengembangan Pertanian NU (LP2NU), serta Lembaga Kajian dan Pengembagan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM NU).
8) Metode Diskusi
Pemimpin dan pengurus organisasi selalu berdiskusi atau mengadakan rapat kerja tentang bagaimana memajukan dan mensukseskan usaha dakwah atau untuk membahas program-program yang terstruktur dalam lembaga NU.
9) Metode Tanya-Jawab
Metode ceramah biasanya disertai dengan tanya jawab. Mad’u dapat mengajukan pertanyaan mengenai materi yang belum dikuasai atau dimengerti oleh mad’u dan da’i langsung menjawab pertanyaan mad’u tersebut, sehingga akan terjadi hubungan timbal balik antara da’i dan mad’u.
10) Metode Bimbingan Konseling
Para da’i atau ulama memberikan bimbingan kepada umatnya tentang tata cara shalat ataupun berwudhu terutama bagi mad’u yang masih awam atau mualaf.
11) Metode Karya Tulis
Metode karya tulis pada organisasi NU yaitu dengan diterbitkannya buku-buku bernuansa islami, seperti majalah yang membahas tentang fiqih dan buku khusus yang menjelaskan tentang keorganisasian NU.
12) Metode Missi (Bi’tsah)
Penyebaran agama Islam ke berbagai wilayah dilakukan dengan cara mengutus para da’i ke daerah-daerah pelosok atau daerah yang membutuhkan seorang tokoh agama untuk meluruskan berbagai tindakan penyimpangan agama.
13) Metode Korespondensi
Sebelum para da’i dikirim ke daerah-daerah, terlebih dahulu diberi surat pengantar ke daerah-daerah yang akan didakwahi. Surat juga digunakan untuk mengundang para anggota organisasi untuk menghadiri suatu forum acara misalnya, rapat kerja atau undangan lainnnya.
14) Metode Silaturahmi
Untuk mempererat tali silaturahmi sesama muslim, maka diadakan perkumpulan atau kajian-kajian rutin yang telah diatur sesuai jadwal.
e. Media
Media dakwah yang digunakan pada oragnisasi NU diantaranya adalah:
1) Masjid
Masjid selain sebagai tempat ibadah juga berfungsi sebagai tempat perkumpulan atau halaqah dan kajian-kajian.
2) Lembaga/kantor pemerintahan
NU memiliki kantor pemerintahan sebagai pusat segala kegiatan organisasi. Segala aktivitas dakwah yang telah terorganisir berlangsung di kantor ini.
3) Lembaga pendidikan
Media dakwah dalam lembaga pendidikan yaitu pesantren dan sekolah-sekolah.
4) Media cetak
Adanya percetakan yang mencetak dan menerbitkan buku-buku bernuansa islami dan buku khusus tentang keorganisasisan NU.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Da’i pada organisasi Muhammadiyah bersifat al-ulama, dan al-ulama wa al-umara. Sedangkan mad’unya bercorak ijabah dan ummah. Materi dakwah yang dibawakan meliputi akidah, syari’ah dan muamalah. Dan metode dakwah yang digunakan diantaranya yaitu: kelembagaan, pendidikan, ceramah, propaganda, tanya-jawab, keteladanan, diskusi, bimbingan konseling, silaturahmi, karya tulis, ekspansi, missi (bi’tsah), korespondensi dan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan media yang digunakan adalah masjid, lembaga/kantor pemerintahan, lembaga pendidikan, lembaga kesehatan dan media cetak.
Da’i pada organisasi NU bersifat al-ulama, dan al-ulama wa al-umara. Sedangkan mad’unya bercorak ijabah dan ummah. Materi dakwah yang dibawakan meliputi akidah, syari’ah dan muamalah. Dan metode dakwah yang digunakan diantaranya yaitu: ceramah, propaganda, pendidikan, kelembagaan, keteladanan, kesenian, pemberdayaan masyarakat, diskusi, tanya-jawab, bimbingan konseling, karya tulis, missi (bi’tsah), korespondensi dan silaturahmi. Sedangkan media yang digunakan adalah masjid, lembaga/kantor pemerintahan, lembaga pendidikan dan media cetak.
B. Saran
Demikianlah makalah ini dibuat. Mudah-mudahan isi dalam makalah ini bermanfaat bagi penulis dan umumnya para pembaca makalah ini. Semoga setelah membaca makalah ini, pembaca dapat termotivasi untuk mempelajari sejarah dakwah Islam. Dalam pembuatan makalah ini, masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat dibutuhkan untuk memperbaiki makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah, 2009
Wahyu Ilaihi & Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, Jakarta: Kencana, Cet.I, 2007
www.google.com, Sejarah Organisasi Muhammadiyah Diakses pada tanggal 7 Mei 2011
Pemimpin Pusat Muhammadiyah, Berita Resmi Muhhamdiyah, Yogyakarta:Surya Sarana Utama, 2007
www.google.com, Metode Dakwah Muhammadiyah Diakses pada tanggal 7 Mei 2011
Arifuddin Ismail, dkk., Potensi Organisasi Sosial Keagamaan, Makassar: Cahaya Mujur Lestari, Cet.I, 2009
Hanisa-stain
Sabtu, 02 Juli 2011
Pemikiran Ibnu Abbas Tentang Tafsir dan Ta'wil
PEMIKIRAN IBNU ABBAS TENTANG TAFSIR DAN TA’WIL
A. Pendahuluan
Melacak pemikiran ulama tafsir adalah sebuah penjelajahan menarik, apalagi tokoh yang akan “dibedah” pemikirannya itu adalah orang ‘alim yang hidup di zaman klasik. Mempelajari khazanah masa lalu (sejarah), khususnya di bidang tafsir Al-Qur’an, bukan saja penting, bahkan sangat penting bagi umat Islam, terutama kaum pelajar. Pasalnya dari ulama-ulama tafsir klasik itu kita bisa melihat sejauh mana keseriusan umat Islam dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Tidak sekedar mengetahui dan mengukur tingkat intensitas hubungan antara teks dan penafsir-penafsirnya, bahkan juga membaca sejauhmana dialektika antara teks dan konteks yang melatari para mufasir tersebut tercipta.
Mengetahui corak pemikiran ahli tafsir yang berada dalam zaman yang berbeda seperti periode klasik, tengah dan modern akan melahirkan pemahaman yang akurat, terutama pemikiran ulama tafsir yang masa hidupnya dekat dengan masa Nabi Muhammad SAW, yaitu ulama tafsir pada periode klasik.
Ibnu Abbas adalah salah seorang dari sederatan mufasir zaman klasik yang dengan pemikirannya ia telah menyumbangkan ilmu yang luar biasa, terutama dalam tafsir Al-Qur’an. Walaupun pada mawsa itu belum menggunakan istilah mufasir namun sederatan nama yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur’an yaitu, empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Sabit, Abu Musa Al-‘Asy’ari, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash dan Aisyah.
Sebagai salah seorang sahabat yunior, tentu pemikiran tentang tafsir akan sangat dekat dengan penafsiran yang diperolehnya dari Nabi Muhammad SAW. Untuk hal tersebut penulis akan mencoba mengungkapkan corak pemikiran Ra-isul Mufassirin ini tentang Al-Qur’an, Tafsir dan Ta’wil.
Library Research adalah metode penelitian yang penulis gunakan, dan karena keterbatasan bacaan tentu makalah ini belum lagi sempurna. Penulis yakin dari diskusi serta masukan dari peserta diskusi dan dosen pengampu akan menyempurnakan tulisan ini dan Insya Allah kita bisa melihat Al-Qur’an sebagai “Hudan” dari kacamata Habbrul Ummuh ini. Allahumma Yassir lana.
B. Setting Historis-Biografis Ibnu Abbas
1. Potret Kehidupan Awal
Ibnu Abbas (Mekah ± 3 SH-Ta’if 68 H). Nama lengkapnya Abdullah bin Abbas bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul Manaf al-Quraisy. Ia adalah saudara sepupu Nabi SAW, karena ayahnya besaudara dengan ayah Nabi SAW (Abdullah bin Abdul Muttalib). Di samping itu, bibinya dari pihak ibu, yaitu Maimunah binti Haris (w. 61 H/681 M), adalah salah seorang istri Rasulullah SAW.
Di masa kanak-kanaknya, Ibnu Abbas memperoleh pendidikan di rumah Nabi SAW. Ia banyak menyertainya, memperoleh ilmu serta menyaksikan berbagai peristiwa turunnya sebahagian ayat Al-Qur’an. Nabi SAW pernah mendo’akannya ketika ia masih kanak-kanak; do’a-do’anya antara lain berbunyi; Allahumma ‘allimhu al-kitab wa al-Hikmah dalam riwayat lain Allahumma faqqihhu fi al-din wa ‘allimhu al-takwil. Setelah Nabi SAW wafat, ia melengkapi ilmunya dengan bergaul dengan para sahabat besar, seperti Umar bin Khattab (561-644 M), Ali bin Abi Thalib (603-661 M), Mu’az bin Jabbal (20 SH/603 M-18 H/639 M), dan Abu Zar al-Giffari (w.32 H). Dari mereka inilah ia memperoleh pengetahuan tentang tempat-tempat dan sebab-sebab turunnya Al-Qur’an serta sejarah perundang-undangan Islam. Ia mempunyai pengetahuan yang luas tentang aspek-aspek bahasa Arab.
Karenanya, di dalam menjelaskan lafal Al-Qur’an ia sering menyitir bait-bait sya’ir Arab. Ia memiliki kemampuan yang tinggi dalam berijtihad, berani dalam menjelaskan apa yang diyakininya benar, dan terbuka untuk menerima kritik dari orang lain. Diantara sahabat yang banyak mengkritiknya adalah Abdullah bin Umar (Ibnu Umar).
2. Kedudukan dan Kilmuannya
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, guru besar di bidang ilmu Al-Qur’an dan Hadits dari Universitas al-Azhar, menyebutkan bahwa: do’a dari Nabi SAW telah menyebabkan Ibnu Abbas memiliki reputasi ilmiah yang tiggi di kalangan para sahabat. Mereka menjulukinya dengan Turjumanul Qur’an (juru Tafsir Al-Qur’an), Habrul Ummah (tokoh ulama umat) dan Raisul Mufassirun (pemimpin para mufassir). Baihaqi dalam ad-Dala-il meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang mengatakan: “Juru tafsir Qur’an paling baik adalah Ibnu Abbas”. Abu Nu’aim meriwayatkan keterangan dari Muhajid, “Adalah Ibnu Abbas dijuluki orang dengan al-Bahr (lautan) karena banyak dan luas ilmunya. “Ibn Sa’ad meriwayatkan pula dengan sanand sahih dari Yahya bin Sa’id al-Anshari: Ketika Zaid bin Sabit wafat Abu Hurairah berkata Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai penggantinya.
Ketika Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, Ibnu Abbas diangkat menjadi amir di Basra. Namun, ia melepaskan jabatannya sebelum Ali terbunuh. Dalam Perang Siffin (37 H/657 M), yakni perang antara pihak Ali dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan (603-680), ia termasuk salah seorang komandan pasukan Ali.
Ibnu Abbas meninggal dunia di Ta’if, Saudi Arabia, pada tahun 68 H dalam usia 70 tahun. Jenazahnya dishalatkan dan dimakamkan oleh Muhammad bin Hanafiyah.
C. Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibnu ‘Abbas
Ibnu Abbas adalah seorang di antara sepuluh sahabat yang terkenal sebagai mufassir. Otoritasnya di dalam menafsirkan Al-Qur’an diakui oleh para sahabat. Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa didalam menafsirkan Al-Qur’an, Ibnu Abbas seakan-akan melihat yang ghaib dari tabir yang tipis. Artinya, Ibnu Abbas dapat melihat secara jelas persoalan yang dipandang gelap oleh orang lain. Umar bin Khattab serta banyak sahabat-sahabat lainnya yang merujuk kepadanya apabila mereka mengalami kesulitan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Satu jilid besar tentang tafsir dinisbahkan kepada (dinyatakan berasal dari) Ibnu Abbas. Tafsir ini telah dihimpun oleh Abu Tahir Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi (w.817 H), seorang ulama Mazhab Syafi’i. tafsir ini telah dicetak beberapa kali di Mesir. Beliau berhasil menghimpun atau mengumpulkan dan melakuka sistematika terhadap tafsir yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas.
Namun karena tafsir ini sifatnya periwayatan, maka pembaca tafsir ini harus kritis melihatnya, sebab sebagaimana lazimnya riwayat, validitas dan otentitasnya perlu diteliti, minimal melalui kritik sanad.
Didalam menafsirkan Al-Qur’an, Ibnu Abbas merujuk kepada hadits yang didengarkan dari Rasulullah SAW dan berijtihad dengan menggunakan pengetahuan tentang latar belakang situasi dan kondisi turunnya Al-Qur’an. Disamping itu, ia merujuk kepada sya’ir jahiliah di dalam menjelaskan makna lafal-lafal Al-Qur’an dan kepada ahlul kitab di dalam memahami kisah dan berita tentang umat-umat terdahulu.
Sehubungan dengan rujukan kepada ahlulkitab, Ibnu Abbas mendapat kritik dari Ignas Goldziher (1850-1921), seseorang orientalis, dan Ahmad Amin, ahli sejarah dari Mesir, bahwa ia terlalu longgar dalam merujuk untuk menafsirkan Al-Qur’an. Muhammad Husain az-Zahabi membantah kritik tersebut karena, menurutnya, Ibnu Abbas merujuk kepada mereka dalam batas-batas sempit dan sejalan degan Al-Qur’an, sedangkan hal yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an tidak ia terima.
Ibnu Abbas, berbeda dengan sahabat yang lain, dalam memahami makna lafaz-lafaz Qur’an banyak merujuk kepada sya’ir-sya’ir Arab, karena pengetahuannya tentang seluk-beluk bahasa Arab sangat tinggi dan luas.
D. Pemikiran Turjumanul Qur’an
1. Tentang Al-Qur’an
Sebagai seorang sahabat muda, Ibnu Abbas dalam pemikirannya terhadap Al-Qur’an tentu tidak berbeda dengan Rasulullah SAW. Ibnu Abbas termasuk salah seorang sahabat yang banyak memberikan fatwa. Di dalam menggali hukum ia bersumberkan secara urut pada: Kitabullah (Al-Qur’an), sunnah Rasulullah SAW, fatwa para sahabat dan ijtihad dengan ra’yu.
Maka dari hal tersebut bisa kita temukan sikap dan pemikiran Ibnu Abbas yang tetap menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam menjalankan Islam. Tentang apa itu Al-Qur’an atau bagaimana Al-Qur’an menurut kacamata Ibnu Abbas penulis belum menemukan literatur yang menerangkan hal tersebut bahkan dalam Kitab tafsir yag dinisbahkan kepadanya.
Namun dari sedikit keterangan dalam uraian tafsir dan beberapa hadits Nabi SAW, bisa ditarik sebuah garis pemikiran Ibnu Abbas, bahwa Al-Qur’an adalah Katamullah yang menjadi sumber utama dalam hukum Islam. Jika dari segi pendefinisian, berbagai pendefinisaian telah diungkapkan oleh para ulama sesuai dengan latar belakang keahlian mereka masing-masing. Kaum teolog, misalnya, cenderung mendefinisikan dari sudut pandangan teologis seperti Khulabiyyah, Asy’ariyyah, Karramiyyah, Maturudiyyah dan penganut sifatiyyah lainnya “Al-Qur’an ialah Kalam Allah yang qadim tidak makhluk”.
Sebaliknya kaum Jahmiyyah, Mu’tazillah, dan lai-lain yang menganut paham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, menyatakan bahwa Al-Qur’an ialah “makhluk [tidak qadim]”. Sementara ini kaum filosof dan al-Shabiah, melihat Al-Qur’an dari sudut pandang filosofis. Itulah sebabnya mereka berpendapat bahwa Al-Qur’an ialah “makna yang melimpah kepada jiwa”. Disamping itu ahli bahasa Arab, ulama fiqih, ushul fikih, dan para mufasir, lebih menitikberatkan pengertiannya pada teks atau hafal yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW mulai dari surah Al-Fatihah sampai dengan surah An-Nas sebagaimana dinyatakan oleh Shubhi al-Shalih, Muhammad Ali al-Shabuni, dan lain-lain: Al-Qur’an ialah kalam Allah yang Mu’jiz, yang diturunkan kepada Nabi SAW dengan perantaraan Jibril, yeng tertulis dalam mushaf mulai dari surah al-Fatihah dengan surah an-Nas, yang disampaikan oleh Rasul Allah secara mutawatir, dan membacanya bernilai ibadah”.
2. Tentang Tafsir
Ibnu Abbas yang dinilai sebagai salah seorang sahabat Nabi SAW yang paling mengetahui maksud firman Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian; pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.
Dari pembagian di atas ditemukan dua jenis pembatasan, yaitu (a) menyangkut materi ayat-ayat (bagian keempat), dan (b) menyangkut syarat-syarat penafsir (bagian ketiga).
Dari segi materi terlihat bahwa ada ayat-ayat Al-Qur’an yang tak dapat diketahui oleh Allah atau oleh Rasul bila beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini mangandung beberapa kemungkinan arti, antara lain: (a) ada ayat-ayat yang memang tidak mungkin dijangkau pengertianya oleh seseorang, seperti ya sin, alif lam mim dan sebagainya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah yang membagi ayat-ayat Akl-Qur’an kepada muhkam (jelas) dan mutasyabihat (samar), dan bahwa tidak ada yang mengetahui ta’wil (arti)-nya kecuali Allah, sedang orang-orang yang dalam ilmunya berkata kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabih (QS 3:7).
Atau (b) ada ayat-ayat yang hanya diketahui secara umum artinya, atau sesuai dengan bentuk luar redaksinya, tetapi tidak dapat didalami maksudnya, seperti masalah metafisika, perincian ibadah, dan sebagainya yang tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal manusia.
Maka apapun yang dimaksud dari ungkapan sahabat tersebut, telah disepakati oleh para ulama, bahwa tidak seorang pun berwenang untuk memberikan penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat yang materinya berkaitan dengan masalah-masalah metafisika atau yang tidak dapat dijangkau oleh akal fikiran manusia. Penjelasan-penjelasan sahabat pun dalam bidang ini hanya dapat diterima apabila penjelasan tersebut diduga bersumber dari Nabi SAW.
3. Tentang Ta’wil
Istilah ta’wil memang sebuah istilah dalam ‘Ulum Al-Qur’an yang pernah menimbulkan polemik yang tajam di kalangan ulama, khususnya generasi mutaakhirin mulai sekitar abad ke-4 Hijriyah. Para ulama salaf termasuk dalam hal ini adalah Ibnu Abbas atau mutaqaddimin cenderung memahami istilah itu sama denga tafsir. Dengan demikian ‘takwil’ menurut mereka adalah sinonim (muradif) bagi ‘tafsir’. Artinya, ‘tafsir’ adalah ‘takwil’ dan ‘takwil’ adalah ‘tafsir’. Pengertian itu diambil dari pemahaman terhadap do’a Nabi SAW kepada Ibnu Abbas.
Pengertian seperti itu yang digambarkan itulah, menurut Ibn Taymiyah yang dimaksud oleh Mujahid. Pemahaman tentang ayat muhkam dan mutasyabih adalah satu sumber diskusi tentang takwil.
Pemikiran Ibnu Abbas tentang takwil sama dengan generasi sahabat senior yaitu Umar bin Khattab dan Imam Malik. Walaupun ada dua kubu yang menerima ayat mutasyabihat tanpa takwil dan yang menerima ayat mutasyabihat dengan takwil, dan yang menjadi bahan diskusi adalah QS. Ali Imran ayat 7. Maka untuk mengetahui pemikiran Ibnu Abbas tentang takwil, penulis melihat sisi lain yang paling dekat.
Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Aisyah adalah sahabat yag menyepakati waqaf pada kalimat; wama ya’mu takwiilahu illallahu, serta diikuti oleh Abu Hanifah, dan mayoritas ahli Hadits. Diantara alasan yang mereka jadikan sebagai sandaran adalah bahwa Allah SWT mencela orang-orang yang mengikuti mutasyabih dan menyifatinya sebagai orang-orang yang “hatinya condong kepada kesesatan dan berusaha menimbulkan fitnah”. Dari Aisyah disebutkan: Rasulullah SAW membaca ayat ini -yakni ayat 7 surah Ali-Imran- kemudian beliau bersabda: “Jika kalian melihat orang yang mengikuti/mendalami ayat-ayat mutasyabihat mereka itulah yang disinyalir Allah maka waspadalah kepada mereka”.
E. Penutup/Kesimpulan
Mengetahui pemikiran Ibnu Abbas tentang Al-Qur’an apabila merujuk pada kitab Tanwir Miqbas min tafsir Ibnu Abbas adalah sebuah kerja berat, karena kitab tafsir tersebut terkenal dengan kitab tafsir yang kontrofersi, disinyalir terdapat banyak uraian hadits yang jalusnya lemah yang sandarkan kepada Ibnu Abbas, disamping adanya kritik dari orientalitas terhadap penafsiran Ibnu Abbas.
Akan tetapi karena Ibnu Abbas mempunyai beberapa murid, seperti Mujahid, serta ulama tafsir abad tengah dan kontemporer, maka kita bisa melihat penilaian mereka terhadap pemikiran Ibnu Baas terhadap Al-Qur’an, Tafsir dan Ta’wil yang menurut penulis yang masih “murni” dan “hati-hati”. Dan tentu saja pemikiran beliau akan terus menjadi rujukan dari ulama tafsir dari zaman ke zaman. Wallahu alam bi al-Shawwab.
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzahabi, Muh. Husain, Al Tafsir wa al-Mufassiruun, Beirut, Dar al-Arqam bin Abi al-Arqam, 1976.
Al-Salman, Abd al-Aziz al-Muhammad, al-Kawasyif al-Jaliyyatan Ma’ani al-Washithiyyah, al-Mamlakat, al-Arabiyyah al-Suudiyyah, 1982.
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, ed. ‘Abd al-Aziz al Wakil, Beirut, Dar al-Fikr, t.t.
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Al-Halabiy, Mesir, 1957.
As-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut, Dar al-Fikr, 1979.
Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997.
Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah, I, t.t.
Manna’ Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Litera Antar Nusa, Bogor dan Jakarta, Cet.6. 2001, terjemahan Drs. Mudzakkir.
Manna Khalil al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Mansyurat al-Ashr al-Hadits, 1973.
Muhammad Ibnu Ya’qub al-Fairuzabadi, Abu Thahir, Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, Mesir, Syarikah Maktabah, 1951.
Mutaqim, Abdul, Aliran-aliran Tafsir, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2005.
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.
Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1994.
Subhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran, Beirut, Dar al-Ilm li al-Malayin, Cet.IX, 1997.
Yusuf, Muhammad, Studi Kitab Tafsir Menyuarakan Teks yang Bisu, Yogyakarta, Teras, 2004.
A. Pendahuluan
Melacak pemikiran ulama tafsir adalah sebuah penjelajahan menarik, apalagi tokoh yang akan “dibedah” pemikirannya itu adalah orang ‘alim yang hidup di zaman klasik. Mempelajari khazanah masa lalu (sejarah), khususnya di bidang tafsir Al-Qur’an, bukan saja penting, bahkan sangat penting bagi umat Islam, terutama kaum pelajar. Pasalnya dari ulama-ulama tafsir klasik itu kita bisa melihat sejauh mana keseriusan umat Islam dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an. Tidak sekedar mengetahui dan mengukur tingkat intensitas hubungan antara teks dan penafsir-penafsirnya, bahkan juga membaca sejauhmana dialektika antara teks dan konteks yang melatari para mufasir tersebut tercipta.
Mengetahui corak pemikiran ahli tafsir yang berada dalam zaman yang berbeda seperti periode klasik, tengah dan modern akan melahirkan pemahaman yang akurat, terutama pemikiran ulama tafsir yang masa hidupnya dekat dengan masa Nabi Muhammad SAW, yaitu ulama tafsir pada periode klasik.
Ibnu Abbas adalah salah seorang dari sederatan mufasir zaman klasik yang dengan pemikirannya ia telah menyumbangkan ilmu yang luar biasa, terutama dalam tafsir Al-Qur’an. Walaupun pada mawsa itu belum menggunakan istilah mufasir namun sederatan nama yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur’an yaitu, empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Sabit, Abu Musa Al-‘Asy’ari, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash dan Aisyah.
Sebagai salah seorang sahabat yunior, tentu pemikiran tentang tafsir akan sangat dekat dengan penafsiran yang diperolehnya dari Nabi Muhammad SAW. Untuk hal tersebut penulis akan mencoba mengungkapkan corak pemikiran Ra-isul Mufassirin ini tentang Al-Qur’an, Tafsir dan Ta’wil.
Library Research adalah metode penelitian yang penulis gunakan, dan karena keterbatasan bacaan tentu makalah ini belum lagi sempurna. Penulis yakin dari diskusi serta masukan dari peserta diskusi dan dosen pengampu akan menyempurnakan tulisan ini dan Insya Allah kita bisa melihat Al-Qur’an sebagai “Hudan” dari kacamata Habbrul Ummuh ini. Allahumma Yassir lana.
B. Setting Historis-Biografis Ibnu Abbas
1. Potret Kehidupan Awal
Ibnu Abbas (Mekah ± 3 SH-Ta’if 68 H). Nama lengkapnya Abdullah bin Abbas bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul Manaf al-Quraisy. Ia adalah saudara sepupu Nabi SAW, karena ayahnya besaudara dengan ayah Nabi SAW (Abdullah bin Abdul Muttalib). Di samping itu, bibinya dari pihak ibu, yaitu Maimunah binti Haris (w. 61 H/681 M), adalah salah seorang istri Rasulullah SAW.
Di masa kanak-kanaknya, Ibnu Abbas memperoleh pendidikan di rumah Nabi SAW. Ia banyak menyertainya, memperoleh ilmu serta menyaksikan berbagai peristiwa turunnya sebahagian ayat Al-Qur’an. Nabi SAW pernah mendo’akannya ketika ia masih kanak-kanak; do’a-do’anya antara lain berbunyi; Allahumma ‘allimhu al-kitab wa al-Hikmah dalam riwayat lain Allahumma faqqihhu fi al-din wa ‘allimhu al-takwil. Setelah Nabi SAW wafat, ia melengkapi ilmunya dengan bergaul dengan para sahabat besar, seperti Umar bin Khattab (561-644 M), Ali bin Abi Thalib (603-661 M), Mu’az bin Jabbal (20 SH/603 M-18 H/639 M), dan Abu Zar al-Giffari (w.32 H). Dari mereka inilah ia memperoleh pengetahuan tentang tempat-tempat dan sebab-sebab turunnya Al-Qur’an serta sejarah perundang-undangan Islam. Ia mempunyai pengetahuan yang luas tentang aspek-aspek bahasa Arab.
Karenanya, di dalam menjelaskan lafal Al-Qur’an ia sering menyitir bait-bait sya’ir Arab. Ia memiliki kemampuan yang tinggi dalam berijtihad, berani dalam menjelaskan apa yang diyakininya benar, dan terbuka untuk menerima kritik dari orang lain. Diantara sahabat yang banyak mengkritiknya adalah Abdullah bin Umar (Ibnu Umar).
2. Kedudukan dan Kilmuannya
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, guru besar di bidang ilmu Al-Qur’an dan Hadits dari Universitas al-Azhar, menyebutkan bahwa: do’a dari Nabi SAW telah menyebabkan Ibnu Abbas memiliki reputasi ilmiah yang tiggi di kalangan para sahabat. Mereka menjulukinya dengan Turjumanul Qur’an (juru Tafsir Al-Qur’an), Habrul Ummah (tokoh ulama umat) dan Raisul Mufassirun (pemimpin para mufassir). Baihaqi dalam ad-Dala-il meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yang mengatakan: “Juru tafsir Qur’an paling baik adalah Ibnu Abbas”. Abu Nu’aim meriwayatkan keterangan dari Muhajid, “Adalah Ibnu Abbas dijuluki orang dengan al-Bahr (lautan) karena banyak dan luas ilmunya. “Ibn Sa’ad meriwayatkan pula dengan sanand sahih dari Yahya bin Sa’id al-Anshari: Ketika Zaid bin Sabit wafat Abu Hurairah berkata Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai penggantinya.
Ketika Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, Ibnu Abbas diangkat menjadi amir di Basra. Namun, ia melepaskan jabatannya sebelum Ali terbunuh. Dalam Perang Siffin (37 H/657 M), yakni perang antara pihak Ali dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan (603-680), ia termasuk salah seorang komandan pasukan Ali.
Ibnu Abbas meninggal dunia di Ta’if, Saudi Arabia, pada tahun 68 H dalam usia 70 tahun. Jenazahnya dishalatkan dan dimakamkan oleh Muhammad bin Hanafiyah.
C. Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibnu ‘Abbas
Ibnu Abbas adalah seorang di antara sepuluh sahabat yang terkenal sebagai mufassir. Otoritasnya di dalam menafsirkan Al-Qur’an diakui oleh para sahabat. Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa didalam menafsirkan Al-Qur’an, Ibnu Abbas seakan-akan melihat yang ghaib dari tabir yang tipis. Artinya, Ibnu Abbas dapat melihat secara jelas persoalan yang dipandang gelap oleh orang lain. Umar bin Khattab serta banyak sahabat-sahabat lainnya yang merujuk kepadanya apabila mereka mengalami kesulitan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Satu jilid besar tentang tafsir dinisbahkan kepada (dinyatakan berasal dari) Ibnu Abbas. Tafsir ini telah dihimpun oleh Abu Tahir Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi (w.817 H), seorang ulama Mazhab Syafi’i. tafsir ini telah dicetak beberapa kali di Mesir. Beliau berhasil menghimpun atau mengumpulkan dan melakuka sistematika terhadap tafsir yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas.
Namun karena tafsir ini sifatnya periwayatan, maka pembaca tafsir ini harus kritis melihatnya, sebab sebagaimana lazimnya riwayat, validitas dan otentitasnya perlu diteliti, minimal melalui kritik sanad.
Didalam menafsirkan Al-Qur’an, Ibnu Abbas merujuk kepada hadits yang didengarkan dari Rasulullah SAW dan berijtihad dengan menggunakan pengetahuan tentang latar belakang situasi dan kondisi turunnya Al-Qur’an. Disamping itu, ia merujuk kepada sya’ir jahiliah di dalam menjelaskan makna lafal-lafal Al-Qur’an dan kepada ahlul kitab di dalam memahami kisah dan berita tentang umat-umat terdahulu.
Sehubungan dengan rujukan kepada ahlulkitab, Ibnu Abbas mendapat kritik dari Ignas Goldziher (1850-1921), seseorang orientalis, dan Ahmad Amin, ahli sejarah dari Mesir, bahwa ia terlalu longgar dalam merujuk untuk menafsirkan Al-Qur’an. Muhammad Husain az-Zahabi membantah kritik tersebut karena, menurutnya, Ibnu Abbas merujuk kepada mereka dalam batas-batas sempit dan sejalan degan Al-Qur’an, sedangkan hal yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an tidak ia terima.
Ibnu Abbas, berbeda dengan sahabat yang lain, dalam memahami makna lafaz-lafaz Qur’an banyak merujuk kepada sya’ir-sya’ir Arab, karena pengetahuannya tentang seluk-beluk bahasa Arab sangat tinggi dan luas.
D. Pemikiran Turjumanul Qur’an
1. Tentang Al-Qur’an
Sebagai seorang sahabat muda, Ibnu Abbas dalam pemikirannya terhadap Al-Qur’an tentu tidak berbeda dengan Rasulullah SAW. Ibnu Abbas termasuk salah seorang sahabat yang banyak memberikan fatwa. Di dalam menggali hukum ia bersumberkan secara urut pada: Kitabullah (Al-Qur’an), sunnah Rasulullah SAW, fatwa para sahabat dan ijtihad dengan ra’yu.
Maka dari hal tersebut bisa kita temukan sikap dan pemikiran Ibnu Abbas yang tetap menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam menjalankan Islam. Tentang apa itu Al-Qur’an atau bagaimana Al-Qur’an menurut kacamata Ibnu Abbas penulis belum menemukan literatur yang menerangkan hal tersebut bahkan dalam Kitab tafsir yag dinisbahkan kepadanya.
Namun dari sedikit keterangan dalam uraian tafsir dan beberapa hadits Nabi SAW, bisa ditarik sebuah garis pemikiran Ibnu Abbas, bahwa Al-Qur’an adalah Katamullah yang menjadi sumber utama dalam hukum Islam. Jika dari segi pendefinisian, berbagai pendefinisaian telah diungkapkan oleh para ulama sesuai dengan latar belakang keahlian mereka masing-masing. Kaum teolog, misalnya, cenderung mendefinisikan dari sudut pandangan teologis seperti Khulabiyyah, Asy’ariyyah, Karramiyyah, Maturudiyyah dan penganut sifatiyyah lainnya “Al-Qur’an ialah Kalam Allah yang qadim tidak makhluk”.
Sebaliknya kaum Jahmiyyah, Mu’tazillah, dan lai-lain yang menganut paham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, menyatakan bahwa Al-Qur’an ialah “makhluk [tidak qadim]”. Sementara ini kaum filosof dan al-Shabiah, melihat Al-Qur’an dari sudut pandang filosofis. Itulah sebabnya mereka berpendapat bahwa Al-Qur’an ialah “makna yang melimpah kepada jiwa”. Disamping itu ahli bahasa Arab, ulama fiqih, ushul fikih, dan para mufasir, lebih menitikberatkan pengertiannya pada teks atau hafal yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW mulai dari surah Al-Fatihah sampai dengan surah An-Nas sebagaimana dinyatakan oleh Shubhi al-Shalih, Muhammad Ali al-Shabuni, dan lain-lain: Al-Qur’an ialah kalam Allah yang Mu’jiz, yang diturunkan kepada Nabi SAW dengan perantaraan Jibril, yeng tertulis dalam mushaf mulai dari surah al-Fatihah dengan surah an-Nas, yang disampaikan oleh Rasul Allah secara mutawatir, dan membacanya bernilai ibadah”.
2. Tentang Tafsir
Ibnu Abbas yang dinilai sebagai salah seorang sahabat Nabi SAW yang paling mengetahui maksud firman Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian; pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.
Dari pembagian di atas ditemukan dua jenis pembatasan, yaitu (a) menyangkut materi ayat-ayat (bagian keempat), dan (b) menyangkut syarat-syarat penafsir (bagian ketiga).
Dari segi materi terlihat bahwa ada ayat-ayat Al-Qur’an yang tak dapat diketahui oleh Allah atau oleh Rasul bila beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini mangandung beberapa kemungkinan arti, antara lain: (a) ada ayat-ayat yang memang tidak mungkin dijangkau pengertianya oleh seseorang, seperti ya sin, alif lam mim dan sebagainya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah yang membagi ayat-ayat Akl-Qur’an kepada muhkam (jelas) dan mutasyabihat (samar), dan bahwa tidak ada yang mengetahui ta’wil (arti)-nya kecuali Allah, sedang orang-orang yang dalam ilmunya berkata kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabih (QS 3:7).
Atau (b) ada ayat-ayat yang hanya diketahui secara umum artinya, atau sesuai dengan bentuk luar redaksinya, tetapi tidak dapat didalami maksudnya, seperti masalah metafisika, perincian ibadah, dan sebagainya yang tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal manusia.
Maka apapun yang dimaksud dari ungkapan sahabat tersebut, telah disepakati oleh para ulama, bahwa tidak seorang pun berwenang untuk memberikan penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat yang materinya berkaitan dengan masalah-masalah metafisika atau yang tidak dapat dijangkau oleh akal fikiran manusia. Penjelasan-penjelasan sahabat pun dalam bidang ini hanya dapat diterima apabila penjelasan tersebut diduga bersumber dari Nabi SAW.
3. Tentang Ta’wil
Istilah ta’wil memang sebuah istilah dalam ‘Ulum Al-Qur’an yang pernah menimbulkan polemik yang tajam di kalangan ulama, khususnya generasi mutaakhirin mulai sekitar abad ke-4 Hijriyah. Para ulama salaf termasuk dalam hal ini adalah Ibnu Abbas atau mutaqaddimin cenderung memahami istilah itu sama denga tafsir. Dengan demikian ‘takwil’ menurut mereka adalah sinonim (muradif) bagi ‘tafsir’. Artinya, ‘tafsir’ adalah ‘takwil’ dan ‘takwil’ adalah ‘tafsir’. Pengertian itu diambil dari pemahaman terhadap do’a Nabi SAW kepada Ibnu Abbas.
Pengertian seperti itu yang digambarkan itulah, menurut Ibn Taymiyah yang dimaksud oleh Mujahid. Pemahaman tentang ayat muhkam dan mutasyabih adalah satu sumber diskusi tentang takwil.
Pemikiran Ibnu Abbas tentang takwil sama dengan generasi sahabat senior yaitu Umar bin Khattab dan Imam Malik. Walaupun ada dua kubu yang menerima ayat mutasyabihat tanpa takwil dan yang menerima ayat mutasyabihat dengan takwil, dan yang menjadi bahan diskusi adalah QS. Ali Imran ayat 7. Maka untuk mengetahui pemikiran Ibnu Abbas tentang takwil, penulis melihat sisi lain yang paling dekat.
Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Aisyah adalah sahabat yag menyepakati waqaf pada kalimat; wama ya’mu takwiilahu illallahu, serta diikuti oleh Abu Hanifah, dan mayoritas ahli Hadits. Diantara alasan yang mereka jadikan sebagai sandaran adalah bahwa Allah SWT mencela orang-orang yang mengikuti mutasyabih dan menyifatinya sebagai orang-orang yang “hatinya condong kepada kesesatan dan berusaha menimbulkan fitnah”. Dari Aisyah disebutkan: Rasulullah SAW membaca ayat ini -yakni ayat 7 surah Ali-Imran- kemudian beliau bersabda: “Jika kalian melihat orang yang mengikuti/mendalami ayat-ayat mutasyabihat mereka itulah yang disinyalir Allah maka waspadalah kepada mereka”.
E. Penutup/Kesimpulan
Mengetahui pemikiran Ibnu Abbas tentang Al-Qur’an apabila merujuk pada kitab Tanwir Miqbas min tafsir Ibnu Abbas adalah sebuah kerja berat, karena kitab tafsir tersebut terkenal dengan kitab tafsir yang kontrofersi, disinyalir terdapat banyak uraian hadits yang jalusnya lemah yang sandarkan kepada Ibnu Abbas, disamping adanya kritik dari orientalitas terhadap penafsiran Ibnu Abbas.
Akan tetapi karena Ibnu Abbas mempunyai beberapa murid, seperti Mujahid, serta ulama tafsir abad tengah dan kontemporer, maka kita bisa melihat penilaian mereka terhadap pemikiran Ibnu Baas terhadap Al-Qur’an, Tafsir dan Ta’wil yang menurut penulis yang masih “murni” dan “hati-hati”. Dan tentu saja pemikiran beliau akan terus menjadi rujukan dari ulama tafsir dari zaman ke zaman. Wallahu alam bi al-Shawwab.
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzahabi, Muh. Husain, Al Tafsir wa al-Mufassiruun, Beirut, Dar al-Arqam bin Abi al-Arqam, 1976.
Al-Salman, Abd al-Aziz al-Muhammad, al-Kawasyif al-Jaliyyatan Ma’ani al-Washithiyyah, al-Mamlakat, al-Arabiyyah al-Suudiyyah, 1982.
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, ed. ‘Abd al-Aziz al Wakil, Beirut, Dar al-Fikr, t.t.
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Al-Halabiy, Mesir, 1957.
As-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut, Dar al-Fikr, 1979.
Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997.
Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah, I, t.t.
Manna’ Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Litera Antar Nusa, Bogor dan Jakarta, Cet.6. 2001, terjemahan Drs. Mudzakkir.
Manna Khalil al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Mansyurat al-Ashr al-Hadits, 1973.
Muhammad Ibnu Ya’qub al-Fairuzabadi, Abu Thahir, Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, Mesir, Syarikah Maktabah, 1951.
Mutaqim, Abdul, Aliran-aliran Tafsir, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2005.
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.
Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1994.
Subhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Quran, Beirut, Dar al-Ilm li al-Malayin, Cet.IX, 1997.
Yusuf, Muhammad, Studi Kitab Tafsir Menyuarakan Teks yang Bisu, Yogyakarta, Teras, 2004.
Dakwah Pada Masa Khulafa'ur Rasyidin
DAKWAH PADA MASA KHULAFA’UR RASYIDIN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Khulafa’ur rasyidin merupakan para pemimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar Bin Khatab, Utsman Bin Affan, dan Ali Bin Abi Thalib, Radiallahu Ta’ala Anhu Ajma’in, dimana sistem yang diterapkan adalah pemerintahan yang Islam karena berundang-brundang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang ditunjukan pada syiar Islam, Nabi SAW tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin yang akan meneruskan dakwah islamnya setelah beliau wafat, beliau menyerahkan persoalannya tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya.
Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di kota Bani Sa’idah mereka bermusyawarah siapa yang dipilih untuk dijadikan pemimpin, dengan semangat ukhuwah islamiyah yang sangat kuat mereka adalah Khulafa’ur Rasyidin.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana asal-usul Khulafa’ur Rasyidin?
b. Bagamanakah pendekatan unsur-unsur dakwah pada masa khulafa’ur Rasyidin?
C. Tujuan
a. Untuk mengetahui asal-usul Khulafa’ur Rasyidin.
b. Untuk mengetahui unsur-unsur dakwah pada masa khulafa’ur Rasyidin.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal-usul Khulafa’ur Rasyidin
Nama asli Abu Bakar As-Siddiq adalah Abdullah bin ‘Utsman bin ‘Aamir dari suku Taim bin Murrah bin Ka’ab. Beliau adalah orang pertama yang beriman kepada Rasul saw dari kalangan lelaki dewasa. Beliau adalah sahabat yang menemani hijrah Nabi. Beliau jugalah orang yang menggantikan Nabi untuk menjadi imam shalat serta amir jama’ah haji. Ada lima orang sahabat yang termasuk orang-orang yang dijanjikan surga yang masuk Islam melalui perantara dakwahnya, mereka itu adalah ; ‘Utsman, Zubair, Thalhah, Abdurrahman bin ‘Auf dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Beliau wafat pada bulan Jumadil akhir tahun 13 hijriyah dalam usia 63 tahun. Kekhalifahan Abu Bakar berlangsung selama dua tahun tiga bulan dan sembilan hari.
Nama asli Khalifah ‘Umar bin Al Khaththab adalah kuniyah Abu Hafsh. Kuniyah Abu Hafsh ini didapatkan beliau dari Nabi SAW karena Nabi melihat sifat tegas yang dimilikinya. Abu Hafsh adalah julukan bagi singa. Beliau adalah orang pertama yang dijuluki sebagai Amirul Mukminin secara luas oleh umat. , Kekhalifahan Umar bin Al Khaththab berlangsung selama 10 tahun, 6 bulan lebih 3 hari. Semenjak tanggal 23 Jumadil Akhir 13 hijriyah hingga 26 Dzulhijjah tahun 23 Hijriyah.
Utsman bin ‘Affan adalah seorang saudagar atau pedagang, ia termasuk saudagar yang sukses dan berhasil, beliau terkenal lembut, sabar, tekun dan pemurah. Dengan ketekunan yang dimilikinya serta kemurahan hatinya dalam berdagang, pada usia yang masih muda, ia sudah berdagang dinegeri Syam dan Hirah pada waktu itu negeri Syam masih dijajah kerajaan Romawi, sedangkan Hijrah merupakan jajahan Persia. Dengan pngalaman berdagang, ia memiliki kayaan yang banyak dan sahabat yang banyak. Beliau berasal dari suku Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf. Sebelum beliau masuk islam bliau tidak banyak mengetahui tentang Nabi Muhammad SAW, beliau hanya mngetahui tntang bberapa kpribadia nNabi dari prang lain, ia mengetahui bahwa Nabi Muhammad memeiliki kejujuran, ia juga mengetahui sikittentang kepemimipinan Nabi Muhammad SAW, keinginan beliau bertemu dengan Nabi Muhammad kemudian disampaikan kepada sahabatnya, yaitu Abu Bakar, rumah Abu Bakar tidak terlalu jauh dari rumah beliau. Beliau masuk Islam sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke Darul Arqam. Beliau adalah seorang yang kaya. Beliau menjabat sebagai khalifah sesudah ‘Umar bin Al Khaththab r.a berdasarkan kesepakatan ahlu syura. Beliau terus menjabat khalifah hingga terbunuh sebagai syahid pada bulan Dzulhijah tahun 35 hijriyah dalam usia 90 tahun menurut salah satu pendapat ulama Kekhalifahan beliau berlangsung selama 12 tahun kurang tahun 35 hijriyah hingga 19 Ramadhan tahun 40 hijriyah.
Ali Bin Abi Thalib adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan kepadanya bendera jihad pada saat perang Khaibar yang dengan perantara perjuangannyalah Allah memenangkan umat Islam dalam pertempuran. Beliau dibai’at sebagai khalifah setelah khalifah ‘Utsman terbunuh. Beliau menjadi khalifah secara syar’i hingga wafat dalam keadaan mati syahid pada bulan Ramadhan tahun 40 hijriyah dalam usia 63 tahun. Kehalifahan Ali berlangsung selama 4 tahun 9 bulan, sejak 19 Dzulhijah 12 hari.
B. Unsur-unsur pendekatan dakwah pada masa khulafa’ur rasyidin
Kekuasaan khulaf’ur rasyidin berumur kurang lebih 30 tahun. Srtuktur dakwah pada masa khulafa’ur rasyidin meliputi unsure-unsur dakwah sebagai berikut:
a. Da’i
Penggantu Rasulullah adalah Khulafa’ur rasyidin, mereka adalah Abu Bakar Asidiq, Umar Bin Khattab, Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib. Ke empat sahabat Nabi ini berperan sebagai ulama’ yang menyebarkan Agama Islam seklaligus berperan sebagai seorang Khalifah(pemimpin). Para da’i pada masa khulafa’ur rasyidin ini adalah, Abu Bakar As-Siddiq, Umar Bin Khattab, Usman Bin Afan, Ali Bin Abi Thalib, beliau-beliaulah yang berperan dalam dakwak pada masa khulafa’ur Rasyidin dan beliau-baliaulah yang menggantikan Nabi dalam menjadi seorang kepala negara. Sehingga corak Da’I pada masa Khulafa’ur rasyidin ini adalah Al-Ulama wa Al-Umara’.
b. Mad’u
Kondisi mad’u pada masa khulafaur Rasyidin adalah bersifat ijabah, karena pada masa Rasulullah sudah banyak orang yang memeluk Agama Islam.
Khulafaur Rasyidin hanya tinggal meneruskan perjuangan dakwah rasulullah, namun masih banyak umat yang belum menerima Islam sebagai Agamanya, seperti orang-orang Qurasyi dan Yahudi, sehingga mad’u pada masa Kulafaur Rasyidin bercorak ijabah dan ummah.
c. Materi
Materi yang diterapkan pada masa khulafaur Rasyidin adalah aqidah, syari’ah dan mu’amalah. Adapun aqidah dengan cara mentauhidkan, atau Meng Esakan Allah, sedangkan syari’ah dengan diajarkannya tata cara tentang berwudhu, sholat dan mambaca Al-Qur’an, sedangkan mu’amalah yaitu dengan ditetapkannya zakat bagi orang-orang muslim yang diserahkan kepada baiulmal dan pajak bagi orang-orang non muslim.
d. Metode
Ada bermacam metode yang digunakan dalam berdakwah pada masa Khulafaur Rasyidin diantaranya sebagai berikut:
1) Metode Ceramah
Metode ceramah metode yang dilakukan untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah dengan cara ceramah yang dilakukan di masjid-masjid.
2) Metode Missi(Bi’tsah)
Penyebaran Agama Islam ke berbagai wilayah dilakukan dengan cara mengutus para da’i. Apabila ada yang menentang atau memberontak maka dilakukan peperangan atau jihad.
3) Metode Korespondensi
Sebelum para da’i dikirim ke daerah-daerah yang akan di dakwahi, terlebih dahulu dikirim surat sebagai pengantar.
4) Metode Ekspansi
Penyebaran Agama Islam dilakukan dengan cara ekspansi atau perluasan wilayah. Ekspansi yang dilakukan meliputi kawasan Syiria dan Palestina, Irak dan Persia, Mesir, Khurasan, Armenia, Afrika Utara.
5) Metode Tanya-jawab
Metode Tanya-jawab adalah metode yang dilakukan dengan menggunakan Tanya-jawab untuk mengetahui sejauh mana ingatan atau pikiran seseorang dalam memahami atau menguasai materi dakwah, disamping itu juga untuk merangsang perhatian mad’u . Seorang mad’u juga dapat mengajukan pertanyaan kepada seorang da’i tentang materi yang belum dikuasai oleh mad’u, sehingga akan terjadi suatu hubungan timbal balik antara da’i dan ,mad’u.
6) Metode Karya Tulis
Metode karya tulis dengan dikumpulkannya lembaran-lembaran sebagai Mushaf, dan pada masa khalifah Utsman dibukukan menjadi sebuah Al-Qur’an.
7) Metode Diskusi
Pada Abu Bakar, beliau berdiskusi dengan Chyrus, pemimipin Romawi dan terjadi kesempatan untuk berdamai .
8) Metode Konseling
Pada masa khulafaurrasyidin, para Khalifah mengajarkan secara langsung cara membaca Al-quran, tata cara berwudhu’, shalat dan cara-cara yang lainya dalam hal apapun yang di rasa belum di ketahui oleh ummat.
9) Metode Kelembagaan
Pada masa khalifah umar bin khatab sudah mampu mengatur dalam sebuah kelembagaan yang di sebut Baitul Mal yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan harta kekayaan Negara .
10) Metode Keteladanan
Para khulafa’urrasyidin memiliki sifat yang cerdik, pandai, adil, dermawan dan bijaksana dalam mengambil keputusan.
11) Metode Propaganda
Didalam proses dakwah pasti terdapat unsur propaganda, guna untuk mempengaruhi seorang mad’u.
12)Metode Silaturah
Pada masa khulafa’urrasyidin, para khalifah berkunjung ke daerah-daerah kekuasaanya untuk mengetahui perkembangannya.
e. Media
Media yang digunakan pada masa khulafaur Rasyidin adalah:
a. Media Masjid
Masjid di jadikannya sebagai tempat atau sasaran utama oleh para Khulafa’ur Rasyidin, selain itu dijadikan sebagai tempat pengajaran Al-Quran dan Al-Hadits.
b. Media Cetak
Khulafaurrasyidin mengumpulkan Al-Qur’an dan membukukannya, kemudian di sebarkannaya ke seluruh wilayah kekuasaan Islam, yang terjadi pada masa Usman Bin Affan.
c. Lembaga Pendidikan
Pada masa khalifah Umar bin Khatab, Abu Sofyan mengajarkan Al-Qur’an kepada penduduk perkampungan. Barang siapa yang buta huruf Al Quran akan dikenakan sanksi cambuk.
d. Lembaga Kantor/pemerintahan
Fungsi dari Lembaga Kantor/pemerintahan yaitu bisa juga digunakan sebagai pusat segala aktivitas pemerintahan, seperti gedung-gedung DPR atau istana Negara. Dan pemerintahan pada masa Khulafa’ur Rasyidin ini pemerintahannya dijalankan sesuai dengan nilai-nilai ke Islaman, misalnya pada masa Umar Bin Khattab dibuat sebuah kebijakan untuk membuat sebuah badan yang mengurus zakat. Ini dilakukan agar pembagian zakat bisa diantar dengan baik dan bisa memebantu prang miskin. Pada aktivitas beginilah lembaga Kantor/pemerintahan digunakan atau dibutuhkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kulaffa’ur Rasyidin berasal dari bahasa Arab, dari kata Khulafa dan Arrasyidin. Khulafa’ur Rasyidin merupakan para pemimpin umat islam setlah nNabi Muhammad SAW wafat yaitu pada masa peemerintaha Abu Bakar , Umar Bin Khatab, Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, diman sistm yang digunakan dalam pemerintaha adalah pemeritahan yang islami karna berundand-undangkan Al-Qur’an dan Al-Hadist. Khulafaur’r Rasyidin adalah pemimpin yang arif dan bijaksana dalam menjalankan tugasnya senantiasa meneladani kepemimipinan Rasulullah, sifat dan akhlak beliau-beliau sebagai pemimipin masyarakat, bliau-beliau inilah yang menyebarkan agama Islam yang sangat hebat dan baik.
B. Saran
Dengan selesainya makalah ini, penulis berharap, pembaca dapat memberi sebuah tanggapan yang bersifat membangun kepada makalah Anda, yang tidak lepas dari kesalahan-kesalahan yang ada. Penulis juga berharap dengan adanya makalah ini dapat menjadi tambahan pengetahuan kita tentang sejarah-sejarah Islam pada masa lalu.
DAFTAR PUSTAKA
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: Karya Toha Putra, 2008
www.google.com. Biografi Usman Bin Affan Di akses pada tanggal 10 Mei 2011, 15:00
www.google.com. Kondisi mad’u pada masa khulafaur Rasyidin Di akses pada tanggal 08 Mei 2011, 13:00
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos. 1997.
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, Jakarta:Amzah,2009
Wahyu Ilaihi dan Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, Jakarta: Kencana, Cet. I 2007
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Khulafa’ur rasyidin merupakan para pemimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar Bin Khatab, Utsman Bin Affan, dan Ali Bin Abi Thalib, Radiallahu Ta’ala Anhu Ajma’in, dimana sistem yang diterapkan adalah pemerintahan yang Islam karena berundang-brundang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang ditunjukan pada syiar Islam, Nabi SAW tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin yang akan meneruskan dakwah islamnya setelah beliau wafat, beliau menyerahkan persoalannya tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya.
Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di kota Bani Sa’idah mereka bermusyawarah siapa yang dipilih untuk dijadikan pemimpin, dengan semangat ukhuwah islamiyah yang sangat kuat mereka adalah Khulafa’ur Rasyidin.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana asal-usul Khulafa’ur Rasyidin?
b. Bagamanakah pendekatan unsur-unsur dakwah pada masa khulafa’ur Rasyidin?
C. Tujuan
a. Untuk mengetahui asal-usul Khulafa’ur Rasyidin.
b. Untuk mengetahui unsur-unsur dakwah pada masa khulafa’ur Rasyidin.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal-usul Khulafa’ur Rasyidin
Nama asli Abu Bakar As-Siddiq adalah Abdullah bin ‘Utsman bin ‘Aamir dari suku Taim bin Murrah bin Ka’ab. Beliau adalah orang pertama yang beriman kepada Rasul saw dari kalangan lelaki dewasa. Beliau adalah sahabat yang menemani hijrah Nabi. Beliau jugalah orang yang menggantikan Nabi untuk menjadi imam shalat serta amir jama’ah haji. Ada lima orang sahabat yang termasuk orang-orang yang dijanjikan surga yang masuk Islam melalui perantara dakwahnya, mereka itu adalah ; ‘Utsman, Zubair, Thalhah, Abdurrahman bin ‘Auf dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Beliau wafat pada bulan Jumadil akhir tahun 13 hijriyah dalam usia 63 tahun. Kekhalifahan Abu Bakar berlangsung selama dua tahun tiga bulan dan sembilan hari.
Nama asli Khalifah ‘Umar bin Al Khaththab adalah kuniyah Abu Hafsh. Kuniyah Abu Hafsh ini didapatkan beliau dari Nabi SAW karena Nabi melihat sifat tegas yang dimilikinya. Abu Hafsh adalah julukan bagi singa. Beliau adalah orang pertama yang dijuluki sebagai Amirul Mukminin secara luas oleh umat. , Kekhalifahan Umar bin Al Khaththab berlangsung selama 10 tahun, 6 bulan lebih 3 hari. Semenjak tanggal 23 Jumadil Akhir 13 hijriyah hingga 26 Dzulhijjah tahun 23 Hijriyah.
Utsman bin ‘Affan adalah seorang saudagar atau pedagang, ia termasuk saudagar yang sukses dan berhasil, beliau terkenal lembut, sabar, tekun dan pemurah. Dengan ketekunan yang dimilikinya serta kemurahan hatinya dalam berdagang, pada usia yang masih muda, ia sudah berdagang dinegeri Syam dan Hirah pada waktu itu negeri Syam masih dijajah kerajaan Romawi, sedangkan Hijrah merupakan jajahan Persia. Dengan pngalaman berdagang, ia memiliki kayaan yang banyak dan sahabat yang banyak. Beliau berasal dari suku Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf. Sebelum beliau masuk islam bliau tidak banyak mengetahui tentang Nabi Muhammad SAW, beliau hanya mngetahui tntang bberapa kpribadia nNabi dari prang lain, ia mengetahui bahwa Nabi Muhammad memeiliki kejujuran, ia juga mengetahui sikittentang kepemimipinan Nabi Muhammad SAW, keinginan beliau bertemu dengan Nabi Muhammad kemudian disampaikan kepada sahabatnya, yaitu Abu Bakar, rumah Abu Bakar tidak terlalu jauh dari rumah beliau. Beliau masuk Islam sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke Darul Arqam. Beliau adalah seorang yang kaya. Beliau menjabat sebagai khalifah sesudah ‘Umar bin Al Khaththab r.a berdasarkan kesepakatan ahlu syura. Beliau terus menjabat khalifah hingga terbunuh sebagai syahid pada bulan Dzulhijah tahun 35 hijriyah dalam usia 90 tahun menurut salah satu pendapat ulama Kekhalifahan beliau berlangsung selama 12 tahun kurang tahun 35 hijriyah hingga 19 Ramadhan tahun 40 hijriyah.
Ali Bin Abi Thalib adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan kepadanya bendera jihad pada saat perang Khaibar yang dengan perantara perjuangannyalah Allah memenangkan umat Islam dalam pertempuran. Beliau dibai’at sebagai khalifah setelah khalifah ‘Utsman terbunuh. Beliau menjadi khalifah secara syar’i hingga wafat dalam keadaan mati syahid pada bulan Ramadhan tahun 40 hijriyah dalam usia 63 tahun. Kehalifahan Ali berlangsung selama 4 tahun 9 bulan, sejak 19 Dzulhijah 12 hari.
B. Unsur-unsur pendekatan dakwah pada masa khulafa’ur rasyidin
Kekuasaan khulaf’ur rasyidin berumur kurang lebih 30 tahun. Srtuktur dakwah pada masa khulafa’ur rasyidin meliputi unsure-unsur dakwah sebagai berikut:
a. Da’i
Penggantu Rasulullah adalah Khulafa’ur rasyidin, mereka adalah Abu Bakar Asidiq, Umar Bin Khattab, Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib. Ke empat sahabat Nabi ini berperan sebagai ulama’ yang menyebarkan Agama Islam seklaligus berperan sebagai seorang Khalifah(pemimpin). Para da’i pada masa khulafa’ur rasyidin ini adalah, Abu Bakar As-Siddiq, Umar Bin Khattab, Usman Bin Afan, Ali Bin Abi Thalib, beliau-beliaulah yang berperan dalam dakwak pada masa khulafa’ur Rasyidin dan beliau-baliaulah yang menggantikan Nabi dalam menjadi seorang kepala negara. Sehingga corak Da’I pada masa Khulafa’ur rasyidin ini adalah Al-Ulama wa Al-Umara’.
b. Mad’u
Kondisi mad’u pada masa khulafaur Rasyidin adalah bersifat ijabah, karena pada masa Rasulullah sudah banyak orang yang memeluk Agama Islam.
Khulafaur Rasyidin hanya tinggal meneruskan perjuangan dakwah rasulullah, namun masih banyak umat yang belum menerima Islam sebagai Agamanya, seperti orang-orang Qurasyi dan Yahudi, sehingga mad’u pada masa Kulafaur Rasyidin bercorak ijabah dan ummah.
c. Materi
Materi yang diterapkan pada masa khulafaur Rasyidin adalah aqidah, syari’ah dan mu’amalah. Adapun aqidah dengan cara mentauhidkan, atau Meng Esakan Allah, sedangkan syari’ah dengan diajarkannya tata cara tentang berwudhu, sholat dan mambaca Al-Qur’an, sedangkan mu’amalah yaitu dengan ditetapkannya zakat bagi orang-orang muslim yang diserahkan kepada baiulmal dan pajak bagi orang-orang non muslim.
d. Metode
Ada bermacam metode yang digunakan dalam berdakwah pada masa Khulafaur Rasyidin diantaranya sebagai berikut:
1) Metode Ceramah
Metode ceramah metode yang dilakukan untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah dengan cara ceramah yang dilakukan di masjid-masjid.
2) Metode Missi(Bi’tsah)
Penyebaran Agama Islam ke berbagai wilayah dilakukan dengan cara mengutus para da’i. Apabila ada yang menentang atau memberontak maka dilakukan peperangan atau jihad.
3) Metode Korespondensi
Sebelum para da’i dikirim ke daerah-daerah yang akan di dakwahi, terlebih dahulu dikirim surat sebagai pengantar.
4) Metode Ekspansi
Penyebaran Agama Islam dilakukan dengan cara ekspansi atau perluasan wilayah. Ekspansi yang dilakukan meliputi kawasan Syiria dan Palestina, Irak dan Persia, Mesir, Khurasan, Armenia, Afrika Utara.
5) Metode Tanya-jawab
Metode Tanya-jawab adalah metode yang dilakukan dengan menggunakan Tanya-jawab untuk mengetahui sejauh mana ingatan atau pikiran seseorang dalam memahami atau menguasai materi dakwah, disamping itu juga untuk merangsang perhatian mad’u . Seorang mad’u juga dapat mengajukan pertanyaan kepada seorang da’i tentang materi yang belum dikuasai oleh mad’u, sehingga akan terjadi suatu hubungan timbal balik antara da’i dan ,mad’u.
6) Metode Karya Tulis
Metode karya tulis dengan dikumpulkannya lembaran-lembaran sebagai Mushaf, dan pada masa khalifah Utsman dibukukan menjadi sebuah Al-Qur’an.
7) Metode Diskusi
Pada Abu Bakar, beliau berdiskusi dengan Chyrus, pemimipin Romawi dan terjadi kesempatan untuk berdamai .
8) Metode Konseling
Pada masa khulafaurrasyidin, para Khalifah mengajarkan secara langsung cara membaca Al-quran, tata cara berwudhu’, shalat dan cara-cara yang lainya dalam hal apapun yang di rasa belum di ketahui oleh ummat.
9) Metode Kelembagaan
Pada masa khalifah umar bin khatab sudah mampu mengatur dalam sebuah kelembagaan yang di sebut Baitul Mal yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan harta kekayaan Negara .
10) Metode Keteladanan
Para khulafa’urrasyidin memiliki sifat yang cerdik, pandai, adil, dermawan dan bijaksana dalam mengambil keputusan.
11) Metode Propaganda
Didalam proses dakwah pasti terdapat unsur propaganda, guna untuk mempengaruhi seorang mad’u.
12)Metode Silaturah
Pada masa khulafa’urrasyidin, para khalifah berkunjung ke daerah-daerah kekuasaanya untuk mengetahui perkembangannya.
e. Media
Media yang digunakan pada masa khulafaur Rasyidin adalah:
a. Media Masjid
Masjid di jadikannya sebagai tempat atau sasaran utama oleh para Khulafa’ur Rasyidin, selain itu dijadikan sebagai tempat pengajaran Al-Quran dan Al-Hadits.
b. Media Cetak
Khulafaurrasyidin mengumpulkan Al-Qur’an dan membukukannya, kemudian di sebarkannaya ke seluruh wilayah kekuasaan Islam, yang terjadi pada masa Usman Bin Affan.
c. Lembaga Pendidikan
Pada masa khalifah Umar bin Khatab, Abu Sofyan mengajarkan Al-Qur’an kepada penduduk perkampungan. Barang siapa yang buta huruf Al Quran akan dikenakan sanksi cambuk.
d. Lembaga Kantor/pemerintahan
Fungsi dari Lembaga Kantor/pemerintahan yaitu bisa juga digunakan sebagai pusat segala aktivitas pemerintahan, seperti gedung-gedung DPR atau istana Negara. Dan pemerintahan pada masa Khulafa’ur Rasyidin ini pemerintahannya dijalankan sesuai dengan nilai-nilai ke Islaman, misalnya pada masa Umar Bin Khattab dibuat sebuah kebijakan untuk membuat sebuah badan yang mengurus zakat. Ini dilakukan agar pembagian zakat bisa diantar dengan baik dan bisa memebantu prang miskin. Pada aktivitas beginilah lembaga Kantor/pemerintahan digunakan atau dibutuhkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kulaffa’ur Rasyidin berasal dari bahasa Arab, dari kata Khulafa dan Arrasyidin. Khulafa’ur Rasyidin merupakan para pemimpin umat islam setlah nNabi Muhammad SAW wafat yaitu pada masa peemerintaha Abu Bakar , Umar Bin Khatab, Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, diman sistm yang digunakan dalam pemerintaha adalah pemeritahan yang islami karna berundand-undangkan Al-Qur’an dan Al-Hadist. Khulafaur’r Rasyidin adalah pemimpin yang arif dan bijaksana dalam menjalankan tugasnya senantiasa meneladani kepemimipinan Rasulullah, sifat dan akhlak beliau-beliau sebagai pemimipin masyarakat, bliau-beliau inilah yang menyebarkan agama Islam yang sangat hebat dan baik.
B. Saran
Dengan selesainya makalah ini, penulis berharap, pembaca dapat memberi sebuah tanggapan yang bersifat membangun kepada makalah Anda, yang tidak lepas dari kesalahan-kesalahan yang ada. Penulis juga berharap dengan adanya makalah ini dapat menjadi tambahan pengetahuan kita tentang sejarah-sejarah Islam pada masa lalu.
DAFTAR PUSTAKA
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: Karya Toha Putra, 2008
www.google.com. Biografi Usman Bin Affan Di akses pada tanggal 10 Mei 2011, 15:00
www.google.com. Kondisi mad’u pada masa khulafaur Rasyidin Di akses pada tanggal 08 Mei 2011, 13:00
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos. 1997.
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, Jakarta:Amzah,2009
Wahyu Ilaihi dan Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, Jakarta: Kencana, Cet. I 2007
Perkawinan Adat Suku Asmat, Bgu, dan Moi
PERKAWINAN ADAT SUKU-SUKU DI PAPUA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Indonesia memiliki berbagai macam suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dengan kebudayaan yang berbeda-beda. Keanekaragaman ini merupakan aset atau modal dalam pengembangan budaya nasional, kendati juga membawa konsekuensi pada keberagaman adat-istiadat, khususnya dalam adat perkawinan.
Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di wilayah paling Timur Negara Republik Indonesia. Papua memiliki beragam suku, ada suku Asmat, suku Dani, Suku Moi, dan masih banyak suku-suku lainnya. Masing-masing suku memiliki hukum adat, kekerabatan dan adat perkawinan yang berbeda. Untuk mengetahui keberagaman dan perbedaan tersebut, kami sebagai penulis akan membahas tentang adat perkawinan suku-suku di Papua.
Suku yang akan kami angkat dalam makalah ini adalah suku Asmat, suku Bgu dan suku Moi. Untuk mengetahui adat perkawinan suku-suku tersebut, kami akan membahasnya secara rinci dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah diantaranya sebagai berikut.
1. Bagaimanakah perkawinan adat pada suku Asmat?
2. Bagaimanakah perkawinan adat pada suku Bgu?
3. Bagaimanakah perkawinan adat pada suku Moi?
C. Tujuan
Adapun tujuan dalam makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui perkawinan adat pada suku Asmat.
2. Untuk mengetahui perkawinan adat pada suku Bgu.
3. Untuk mengetahui perkawinan adat pada suku Moi.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Perkawinan Adat pada Suku Asmat
Suku Asmat berdiam di daerah terpencil yang merupakan alam asli di sekitar pantai Barat Daya Papua. Dalam suku Asmat, gigi-gigi anjing memang bernilai tinggi bagi suku Asmat dan sering dijadikan sebagai mas kawin atau pomerem bagi keluarga pihak wanita.
Dalam adat perkawinan suku Asmat, sebenarnya tidak ada upacara khusus, namun saat ada laki-laki dan wanita suku Asmat yang akan menikah, pihak laki-laki harus “membeli” wanita pilihannya dengan menawarkan mas kawin berupa piring antik dan uang yang nilainya disetarakan dengan perahu Johnson (sejenis perahu motor yang biasanya digunakan melaut). Bila ternyata ada kekurangan dalam penafsiran harga perahu Johnson, maka pihak pria wajib melunasinya dan selama masa pelunasan pihak pria dilarang melakukan tindakan aniaya walaupun sudah diperbolehkan tinggal dalam satu atap.
Dalam memenuhi kebutuhan biologisnya, baik kaum pria maupun wanita melakukannya di ladang atau kebun, disaat prianya pulang dari berburu dan wanitanya sedang berkerja di ladang. Selanjutnya, ada peristiwa yang unik lainnya dimana anak babi disusui oleh wanita suku ini hingga berumur 5 tahun.
Dalam suatu perkawainan, mas kawin dikumpulkan dari keluarga dan saudara-saudara pihak laki-laki, untuk disampaikan dan dibagikan kepada keluarga dan saudara-saudara pihak wanita. Umumnya perkawinan diatur orang tua kedua belah pihak tanpa sepengatahuan anak-anak mereka. Perkawinan yang direncanakan ini disebut tinis. Di samping itu, dikenal dua cara perkawinan yang disebut persem dan mbeter.
Persem adalah perkawinan yang terjadi akibat adanya hubungan rahasia antara seorang pemuda dengan seorang pemudi yang kemudian diakui secara sah oleh orang tua kedua belah pihak. Sedangkan mbeter adalah perkawinan lari, yaitu bila lelaki melarikan anak perempuan untuk dikawini. Dalam hal ini dapat timbul pertikaian antara kedua belah pihak. Dalam suatu perkawinan yang direncanakan, peminangan dilakukan orang tua pihak wanita. Melalui perkawinan, seorang suami memperoleh hak atas daerah ikan milik mertua laki-lakinya.
Sifat perkawinan dalam masyarakat Asmat adalah berdasarkan prinsip eksogami. Jadi, perkawinan antara anggota-anggota dari klen yang berbeda dibolehkan. Perkawinan endogami dapat terjadi hanya bila pihak-pihak yang berkepentingan tidak berasal dari satu garis lurus keturunan. Sebelum wanita Asmat kawin, ia termasuk klen ayahnya. Tetapi begitu kawin, ia mengikuti klen suaminya dan menetap bersama keluarga suaminya. Bila suami meninggal, istri dan anak-anak tetap tinggal bersama keluarga suami. Mereka menjadi tanggung jawab keluarga suaminya. Karena orang-orang Asmat menjalankan leverat, maka saudara laki-laki dari yang meninggal dapat mengawini jandanya.
Dalam hal ini dapat terjadi poligami, karena sering lelaki yang mengawini janda itu sudah mempunyai istri terlebih dahulu. Istri pertama dan anak-anaknya kembali ke klen asalnya. Namun demikian, pada prinsipnya orang-orang Asmat menganut sistem patrilineal sehingga dalam pewarisan misalnya, hak milik ditetapkan menurut garis keturunan bapak.
2. Perkawinan Adat pada Suku Bgu
Orang Bgu disebut juga orang Bonggo. Orang luar menyebut mereka sebagai orang Bonggo, tetapi mereka sendiri menyebut diri sebagai orang Bgu. Mendiami daerah sekitar muara sungai Wiruwai, lebih kurang 120 km sebelah Barat kota Jayapura, provinsi Papua. Daerah ini berawa-rawa dan dialiri oleh sungai-sungai kecil yag berasal dari pegunungan Irie dan Siduarsi.
Dalam suku Bgu, adat mereka mengijinkan seseorang lelaki mempunyai beberapa orang istri. Masuknya pengaruh agama Nasrani, perkawinan mereka cenderung monogami. Mas kawin yang mereka sebut krae amat penting artinya dalam hubungan kekerabatan, terdiri dari berbagai perhiasan, seperti cincin yang terbuat dari kulit krang (sebkos), kalung yang terbuat dari untaian merjan (mote), kalung yang dibuat dari untaian gigi anjing (kdarf), sabuk yang dibuat dari anyaman merjan (bitem), gelang dari merjan (mak) dan gelang kaki yang terbuat dari untaian tali-tali (weikoki). Selain itu harus pula ditambah dengan pakaian,bahan pakainan, alat-alat dapur dan wadah-wadah. Kalau mas kawin tetap belum diabayar sampai anak lahir, maka anak itu diadopsi oleh kerabat pihak ibu, cara ini disebut teiyamekyo, upacaranya disebut wendedka.
3. Perkawinan Adat pada Suku Moi
Suku Moi merupakan suku asli yang mendiami daerah Sorong dan Raja Ampat. Pada tahun 2003, Kabupaten Sorong dimekarkan menjadi Kabupaten Sorong Selatan dan Kabupaten Sorong Kepulauan (Raja Ampat), kesemua wilayah ini masih merupakan satu rumpun suku Moi. Suku Moi tersebar di daerah pulau Waigeo, Pulau Missol, Pulau Salawati, dan Pulau Batanta (pulau yang terletak diantara Pualu Salawati dan Waigeo).
Hubungan dalam adat suku Moi merupakan bagian yang penting dalam menjalin hubungan persaudaraan, persahabatan, maupun perkawinan. Suku Moi melakukan hubungan kekerabatan melalui perkawinan. Hubungan itu juga disebut simin (rumah tangga) sebagai hubungan diantara marga atau Keret.
Dalam hubungan kekerabatan, sistem perkawinan suku Moi pada dasarnya dibentuk berdasarkan sistem Omaha, dimana larangan perkawinan setelah beberapa keturunan, menghasilkan pemisahan tegas antara kekerabatan dan keturunan. Namun yang terjadi dalam suku Moi tidak berlaku teori Levi-Steauss ini, karena larangan perkawinan berdasarkan sepupu garis ibu (matrilateral) yang membedakan antara kekerabatan dan keturunan, tidak berlaku. Yang terjadi dalam suku Moi adalah perpaduan antara klasifikasi perkawinan berdasarkan kekerabatan dan perkawinan berdasarkan garis keturunan dari pihak ibu.
Seperti suku-suku lainnya di Nusantara, umumnya tahapan perkawinan suku Moi meliputi tiga tahapan yakni:
1. Peminangan beserta ikatan (kamfabe).
2. Pelaksanaan pesta perkawinan (simin).
3. Penyerahan mas kawin pertama (kamsakwo) dan kedua (libla salek).
Tahapan dalam proses perkawinan ini dimaksudkan sebagai bentuk penghargaan akan nilai kesakralan perkawinan dan bentuk kekeluargaan di antara kedua keluarga dan keret juga menghindari adanya perzinahan. Di sela-sela pesta perkawinan terdapat prosesi seperti persiapan pengantin perempuan, menghias, mengantar pengantin dan duduk bersama menyantap papeda (wely sik nin) sambil mendiskusikan jumlah mas kawin yang akan dibayarkan oleh pihak laki-laki. Hal itu merupakan tata cara perkawinan yang terdapat pada suku Moi. Tentang mas kawin dan penetapan mas kawin dalam beberapa kali diskusi bersama ketua-ketua adat dan tokoh adat yang disebut “Yolom Yefai” menetapkan beberapa hasil-hasil kemufakatan. Jenis barang mas kawin adalah kain timor dan barang-barang campuran seperti kain cita, piring tua, gong (kaleng kla), parang tua (sinwak), manik-manik (liblatuk). Mengenai jumlah dan jenisnya pada waktu lampau ditentukan oleh pihak perempuan dan disetujui oleh pihak pria, belum ada ketegasan jumlah dan jenisnya. Penyerahan mas kawin ini sangat erat dengan nilai agama yang dianut oleh suku Moi saat ini tentang adanya mas kawin/mahar yang tertuang dalam kitab suci agama Kristen dan Islam, menjadi jelas bahwa keberadaan mas kawin tidak dapat ditolak.
Tahap pertama perkawinan suku Moi yaitu peminangan. Bila sudah waktunya seorang anak laki-laki dipandang cukup siap untuk menikah, maka orang tuanya akan mencarikan seorang gadis untuk dijadikan istri bagi anaknya. Diadakanlah acara pinangan dengan mendatangi rumah orang tua gadis lalu menyampaikan maksudnya dengan kalimat perumpamaan dan kata-kata kiasan seperti “Saya ingin mengambil anak pisang yang ada di depan rumah ini, untuk saya tanam di halaman rumah saya”.
Bila orang tua gadis paham maksudnya dan bersedia, maka keesokan harinya orang tua gadis akan mengunjungi rumah orang tua laki-laki untuk mengambil ikatan pertama dalam bentuk piring tua, lalu piring tadi diberikan pada anak gadisnya agar si gadis paham bahwa dia akan segera dinikahkan dan piring ini sebagai tanda dari laki-laki tersebut.
Kedua kalinya orang tua gadis datang lagi ke rumah orag tua laki-laki untuk mengambil bukti ikatan yang kedua berupa kain timor dan sekaligus menentukan waktu pernikahan. Barang-barang ini disebut barang ikata atau “kamfawe”. Setelah penerimaan lamaran, pihak prempuan melakukan persiapan yang dimulai dengan memandikan anak gadis yang akan dinikahkan sambil diberi nasihat oleh ibu-ibu suku Moi dan disaksikan oleh ibu-ibu yang lain. Setelah gadis dimandikan, kemudian dihiasi dengan pakaian, kain timor, sarung, gelang-gelang, manik-manik, perhiasan telinga, serta mahkota sambil menyanyikan lagu-lagu rakyat yang mengisahkan asal-usul kedua keluarga ini. Apabila calon pengantin perempuan telah siap dihias, maka pihak perempuan akan mendatangi keluarga laki-laki untuk menyampaikan jumlah mas kawin yang akan diserahkan oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan.
Setelah permintaan mas kawin dari pihak perempuan terpenuhi, maka mas kawin tersebut dibawa pulang oleh utusan keluarga untuk dibawa kepada keluarga perempuan. Sesampainya di rumah, piring berisi air yang telah disiapkan, dipercikkan empat kali pertanda mereka siap mengantarnya ke keluarga laki-laki dimana calon suami telah menunggunya. Sesampainya di rumah laki-laki, calon pengantin perempuan didudukkan di atas tikar sambil menunggu keluarnya calon pengantin laki-laki dari dalam kamar. Setelah calon pengantin laki-laki keluar, maka didudukkan brhadap-hadapan dan diantarlah papeda yang disebut weli sik nin ini diantara keduanya dengan 2 buah gata-gata (sendok dari bambu). Tembakau yang sekarang dikenal dengan rokok atau (sebak) yang merupakan alat pembayaran dan juga dipakai dalam prosesi pernikahan adat selain papeda. Dengan menyendok papeda dan memutarnya sebanyak empat kali atau rokok dengan mengisapnya sebanyak emapt kali merupakan tanda sahnya pernikahan adat ini. Setelah menyendok dan memutar maupun mengisap tembakau atau rokok, kemudian menyerahkan papeda atau rokok tadi kepada para saksi-saksi, baik saksi dari pihak perempuan maupun laki-laki menjadi sahnya sebuah pernikahan yang kemudian dilanjutkan dengan makan bersama-sama yang telah disiapkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Suku-suku di Papua seperti suku Asmat, Bgu dan Moi, memiliki adat perkawinan yang hampir sama. Proses perkawinan diawali dengan peminangan. Selanjutnya mas kawin ditentukan atau disepakati bersama antara pihak laki-laki dan pihak perempuan.
Sifat perkawinan dalam masyarakat Asmat adalah berdasarkan prinsip eksogami, yaitu memperbolehkan perkawinan anggota-anggota dari klen yang berbeda. Kalau dalam suku Bgu, adat mereka mengijinkan seseorang lelaki mempunyai beberapa orang istri, atau cenderung monogami. Sedangkan dalam adat suku Moi, proses perkawinan dimulai dengan pinangan dan ikatan, selanjutnya pengantin perempuan dimandikan, setelah dimandikan kemudian dihiasi dengan pakaian, gelang, manik-manik, dan lain sebagainya. Setelah itu pihak keluarga perempuan mengantar perempuan ke rumah pihak laki-laki, barulah setelah itu prosesi pernikahan adat dilaksanakan.
B. Saran
Demikianlah makalah ini dibuat. Mudah-mudahan isi dalam makalah ini bermanfaat bagi penulis dan para pembaca makalah ini. Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat dibutuhkan untuk memperbaiki makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Suharjanto, et.all, Antropologi SMU Kelas 3, Surakarta: Pabelan, Cet.I, 1996
www.google.com, Adat Pernikahan Suku Asmat Diakses pada tanggal 8 Juni 2011
Supriyanto, Antropologi Kontekstual SMA/SMU, Surakarta: Mediatama, Cet.I, 2007
Stepanus Malak dan Wa Ode Likewati, Etnografi Suku Moi Kabupaten Sorong, Papua Barat, Bogor: Penerbit Buku Ilmiah Populer PT. Sarana Komunikasi Utama, Cet.I, 2011
Stepanus Malak, Kapitalisasi Tanah Adat, Bandung: Yayasan Bina Profesi Mandiri, Cet.I, 2006,
Pemberantasan Korupsi Dalam Perspektif Al-Qur'an
PEMBERANTASAN KORUPSI
DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
A. Pendahuluan
Seorang dosen daatng ke kantor salah satu polres di Yogyakarta. Dia ingin membuat SIM A sebagai professional yang sibuk . dia tidak punya waktu banyak untuk meninggalkan kampus. Baru saja kendaraan di farkiran. Dia di sambut dengan ramah. Keramahan itu terasa berlebihan karena dating dari seorang tukang parkir yang biasanya dingin. Ujung-ujungnya si tukang parkir menawarkan jasa untuk menyelesaikan SIM A. Pak dosen dalam waktu cepat dan dengan prosedur singkat. Sang dosen itu memanfaatkan tawaran jasa itu karna dia telah di tunggu di kantor itu oleh tetangga yg kebetulan seorang polentas. Dengan hanya mengumpulkan dua lembar pas foto. Sang dosen langsung di damping sipolantas langsung menuju ke ruang pemotretan guna dibuatnya SIM barunya. . hanya di perlukan waktu tidak lebih dari dua jam dan jadilah SIM A pak dosen tidak ada tes tertulis juga tes praktek tentu saja sang dosen harus membayar lebih untuk bea jasa kilat tersebut. Dan ternyata sang dosen tidak sendiri. Beberapa orang menjalani prosedur yang sama, tanpa sanksi dari pihak manapun di kantor polisi matersebut.
Ilustrasi di atas dapat kita simpulkan bahwa korupsi bukan sekedar persoalan moral, akan tetapi korupsi lebih pada persoalan system, sekarang ini korupsi salah satu masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini, yang dari tahun ketahun masalah ini menunjukan peningkatan yang signifikan, baik volume perkaranyamaupun jumlah kerugian yang di tanggung Negara. Modus operandinya juga semakn beragam dengan pola yang semakin sulit untuk di deteksi dan diungkap. Karna korupsi merupakan masalah global bukan lagi masalah Nasional. Ahmad syafii maarif member komentar terhadap masalah ini, ia mengatakan bahwa masalah korupsa bukan lagi persoalan hukum dan politik saja, maupun soal budaya dan agama, akn tetapi persoalan kesadaran serta persepsi masyarakat tentang ap yang di sebut korupsi. Itulah tugas dari kalangan agamawan . sehingga upaya sinergi yang lebih sistemetis dan terkoordinasi antara ketiga unsure yaitu antara budaya dan agama. Politik dan hukum. Setelah terbangun kesadaran masarakat kemudian bisa di trasformasikan kepada kebijakan publik yang searah serta enindak lanjuti dengan langkah menghukum orang -orang yang melakukan korupsi dengan tegas da hukuman yang seberat-beratnya. Denga ketiga unsure di ats khususnya yang terkait dengan peran agama dalm upaya untuk pemberantasan korupsi.
B. Menaklukan Korupsi dengan penguatan moral- spiritual
Korupsi tidak hanya menyalah gunakan wewenang dan mengambil sesuatu yang bukan haknya, ketika seseorang melakukan sesuatu yang tidak seharusnya tidak dilakukan itu juga korupsi, dalam hal ini korupsi tidak hanya terkait dengan uang, tapi juga terkait dengan waktu. Dalam kehidupan bermasyarakat, ternyat korupsi membuat seseorang menjadi individualis dan berogoisme tinggi.
Peran agama dalam masalah korupsi adalah menjadi moral force (kekuatan moral), sutu sumber nilai-nilai yang baik dan luhur, dalam pandangan ajaran ama islam melalui kitab sucinya dan sunnahnya bahwa perbutan atau sikap korup adalah perbutan yang dilarang bahkan pelakunya akan mendapat siksa dan pedih. Denagn melalui kitab suci al-Qur’an banyak ayat-ayat yang bisa dijadikan pelajaran bagi kita betapa bahayanya perbutan yang tidak jujur serta dampaknya bagi terhadap masyarakat luas. Banyak ayt-ayat al-Qu’ran untuk kita jadikan ibrah sekaligus solusi untukmenghilangkan sikap maupun budaya korup, bagimana al-Qur’an menjelaskan bahwa buday akorupsi akan hilang dari masyarakat kalau kita wau mengikuti petnjuk-petunjuknya, antara lain :
1. Membangun kepribadian yang shalih melalui peningkatan kualitas iman
Para ulama sepakat bahwa ima tidak cukup hanya dengan keyakinan di dalam semata, akan tetapi harus dinyatakan dengan lisan dan dibuktikan dengan aml perbuatan. Iman bukanlah angan-angan kosong atau tamanni akan tetapi harus dibuktikan dengan amal perbuatan dalam seluruh aspek kehidupan.
Iman tidak statis, dapat bertambah statis dan berkurang. Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa iman memang dapat bertambah, Allah berfirman:
Arinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.
Dalam ayat lain :
•
Artinya : Dia-lah yang Telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang Telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi, dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (Al-Fath: 4)
Beberapa faktor yang menyebabkn iman bertambah antara lain adalah :ilmu tentang Allah SWT, baik menyagkut asma, sifat-sifat maupun afalnya. Ilmu tentang Rasulullah SAW, baik perjalanan hidup maupun ajarn-ajarannya, dan ilmu kitap suci al- Qurandan seluruh ajaran yang terdapat didalamnya (akhba, amisal, ahkam, dan’ibar).sehubungan dengan ilmu ini allah menyatakan bahwa para ulamalah yang paling takut dengan-Nya. Amal Sholeh dan ketaatan kepada Allah SWT. Baik dalam aspek ibadah maupun muamalat. Semakin banyak aml sholeh seorang semakn menngkat imannya. Juga sebaliknya, semakn banyak kemaksiatan yang ia lakukan, semakin berkurang pula imannya. Dalam hal ini dalam hal ini rumusannya ialah Al-iman yazidu bi t-thaah wa yanqush bi al-mashiyah. (iman bertambah dengan taat dan berkurang dengan maksiat). Bahkan kata nabi iman dan maksiat tidak bisa bergabung sama sekali, nabi menyatakan:tidak berzina seorang pezina, apabila tatkala berzina ia tetap berman, dan tidak mencuri seorang pencuri apabilatatkala mencuri ia tetap beriman. (HR. Muslim). Maka dari itu imanlah yang memberikan kepada kita ketenangan jiwa, karena (1) orang beriman memperkenalkan panggilan fitrah, (2) orang beriman tidak akan menghianati orang lain,(3) orang beriman tidak akan mencuri dan mengambil hak orang lain, (4) orang beriman melihat dengan jelas tujuan daan jalan yang akan di tempuh, (5) orang beriman tidak akan terombang ambingkan antara “kalau”dan “seandainya”, dan lan-lain.
2. Cinta dunia adalah akar korupsi
Dalam sebuah makalah di katakan “hubbudunya rasu kuli khatiatin”artinya cinta dunia adalah pangkal segala malapetaka. Sayangnya justru terkadang tanpa sadar kita amalkan juga, kita di ajarkan bahwa dunia ni adlah hanya sekedar wasilah(jalan) bukan sebagi tujuan akan tetapi Negara yang membangun ekonomi sejak masa orde baru inimeniru barat yang dunia adalah sebagai tujuan semata, pada akhirnya masyarakat kitapun mengikuti masyarakat sana. Allah SWT berfirman :
Artinya : Dan Sesungguhnya hari Kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan) (QS.Ad-dhuha :4) dan dalam ayat lain yang artinya”dunia adalah sebagai tempat permainan”dan “dunia sebagai perhiasan yang menipu” dan masih banyak ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan untuk tidak terlalu cinta pada dunia, dengan sama sekali lupa akan tujuan akhir kita, maka dar itulah dengan orientasi dunia korupsi terjadi.
3. Menjauhkan diri dari sifat batil
Salah satu yang sangat penting uny\tuk kita perbaiki saat ini adalah krisis moral. Di antara berbagai krisis moral yang ada perilaku korup menempati urutan yang tertinggi. Bahkan tidak tanggung-tanggung negri kita menjadi Negara terkorup No . 1 di Asia dan no. 4 di dnia. Apa yang terjadi adalah sebuah cerminan bagi kita semua bahwa kita tidak bisa menjaga amanah yang di gariskan Allah SWT dan tidak menjaga pwrilaku keagamaan kita.
Allah SWT dengan tegas menentang perilaku korup ini. Allah SWT memberikan sebuah gambaran sebagai berikut :
Artinya :Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (An-nisa :29)
Dari ayat tersebut jelas-jelas di sebutkan bahwa Allah SWT melarang kita untuk melakukan tindakan yang tidak sah atau bati. Mengapa demikian ?. karena, tindakan ini merugkan orang lain dan kita berarti juga menganggungkan sifat tamak, kita biasa melihat bagaimana orang tamak itu biasa membahayakan orang lain. Tindakan batil juga dapat menyebabkan orang malas yang akan menjadi penyebab dominant tindakan korupsi. Dengan demikian maka jelaslah bahwa tindakan korupsi itu akan mendatangkan dosa., sebab jelas, dampak praktek korupsi itu, akan di rasakan semua lapisan masyarakat. Kalau sudah terjadi seperti itu, maka negaralah yang akan hancur. Maka dari itu, Allah SWT dengan tegas akan memberi ganjaran bagi orang yang melakukan tindakan korupsi. Allah berfirman :
Artinya : Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah(QS. An-Nisa:30)
Maka dari itu maraknya korupsi adalah bukti nyata ketidakberdayaan kita merubah diri kearah yang lebih baik. Status ini seharusnya membuat kita mal, malu terhadap diri sendiri, maupun malu sebagai umat muslim. Marilah dalam kesempatan ini kita mulai untuk melakukan perubahhan dari kondisi yang memprihatinkan, paling tidak kita harus mengawalinya dengan mempererat solidaritas antar kita dan menghidupkan amar maruf nahi munkar, untuk menuju kehidupan masyarakat kita agar lebih adil dan sejahtera.
4. Bersifat jujur dalam menjalakan amanah
Sala satu sifat nabi yang wajib di teladani oleh umat islam adalah shidiq (al- shidqu) yang berarti jujur atau benar lawan dari dusta atau bohong beliau selalu jujur kapan dan dimana saja, dan dalam keadaan apapun. Allah SWT selalu memelihara segala perkataan dan perbuatan nabi sehinggatidak pernah sekalipun beliau berbohong., jangankan dalam keadaan terjaga, dalam tidurpun nabi tetap di pelihara oleh Allah SWT. Seorang muslim harus selalu jujur, mulai dari hati, perbuatan, sampai perkataan . antara hati dan perkataan harus sama tidak boleh berbeda. Adapun benuk-bentuk kejujuran adalah: (1) jujur dalam perkataan, (2) jujur dalam pergaulan, (3)jujur dalam kemauan., dalam hal ini setiap memutuskan sesuatu seorang muslim harus mempertimbangkan dan menilai terlebih dulu, apakah yang di lakukan itu benar dan bermanfaat. Apabila yakin benar dan bermanfaat dia akan melakukannya tanpa ragu-ragu, tidak akan terpengharuh suara kiri-kanan yang mendukung atau mencelanya. Jika yakin benar dan bulat, untuk melakukannya, lakukanlah jangan ragu dan serahkan hasilnya kepada Allah SWT, Allah berfirman :
•
Artinya: Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya(Ali-imran:159)
Selain bentuk kejujuran diatas, juga jujur dalam berjanji , sebagai Allah berfirman:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu
(QS Al-maidah :1)
diatas ada pula bentuk-bentuk kebohongan yang antara lain:
Selain bentuk-bentuk kejujuran diatas ada pula bentuk-bentuk kebohongan yang antara lain:
a. Khianat
Sifat khianat adalah sejelek-jelek sifat sombong yang dimiliki seseorang yang bahaya akan menimpa orang lain, Allah SWT melarang orang-orang yang beriman berhianat apalagi kepada Allah dan Rasulnya. Sebagaimana dalam firmannya :
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui(QS. Al-Anfal; 27).
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:
•
Artinya: Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa (QS. An-Nisa: 107).
• ••
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan keadilan ( QS. An-Nisa :58)
Sementara para fuqaha dan alim ulama juga telah menegaskan bahwa amanah adalah salah satu syarat bagi seorang pemimpin. Pemimpin yang tidak menpunyai jiwa amanah, tidak selayaknya menjadi pempimpi, apalagi bagi bangsa sebesar Indonesia ini, sebab, hanya dengan amanah segala kewajiban dan tanggung jawab yang menggelayut dipundaknya akan dapat dilaksanakan dengan baik. Dengan itu pula kemaslahatan akan terwujudkan dan dirasakan masyarakat luas.
b. Kesaksian Palsu
Kebohongan jenis ini juga akan mendatangkan kemudaratan yang sangat besar di masyarakat, orang yang tidak mempunyai kesalahan akan di jatuhkan hukuman berat, dan sementara orang yang memang bersalah di bela dan di bebaskan dari tuntutan, semuanya itu karena kesaksian palsu. Oleh sebab itu kesaksian palsu termasuk dalam dosa besar (muttaeaq alaih). Dalam salah satu sifat hamba allah semestinya tidak melakukan kesaksian palsu. Allah berfirman:
Artinya: Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu (QS. Al-Furqan: 72)
c. Fitnah
Fitnah adalah perbuatan yang akan mendatangkan bahaya besar bagi masyarakat, oleh sebab itu Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk tabayyun (Klarifikasi) menyelidiki kebenaran suatu berita sebelum mempercayai berita yang disampaikan oleh orang-orang fasik, supaya idak mendatangkan malapetaka kepada orang yang tidak bersalah Allah berfirman:
•
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat: 6)
Demikian Islam dengan mengajarkan kepada kitauntuk selalu jujur dan menjauhi kebohongan. Maka dari itu marilah kita berantas korupsi dengan menumbuh suburkan sifat jujur dan membudayakannya dalam seluruh aspek kehidupan kita. Marilah kita jadikan kebohongan sebagai musuh utama yang harus kita perangi.
Dalam kamus bahasa Indonesia bahwa adil diartikan sebagai (1) tidak berat sebelah; tidak memihak (2) berpihak kepada yang benar; berpegang kepada kebenaran (3) sepatutnya; tidak sewenang-wenang, beberapa pengertian ini tetap berangkat dari dua makna kat adil diatas, dengan prinsip persamaan seorang yang adil tidak akan memihak kecuali kepada yang benar. Dan dengan azaz keseimbangan seorang yang adil berbuat atau yang memutuskan sesuatu dengan spatutnya dan tidak bertindak sewenang-wenang. Disamping menggunakan kata Al-‘Adl Al-Qur’an juga menggunakan kata Al-Qids dan Al-Mizan untuk pengertian yang sama. Misalnya dalam dua ayat tersebut:
Artinya: Katakanlah, Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan (QS. Al-‘Araf:29)
••
Artinya: Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.(QS. Al-Hadid:52)
Masih banyak yang terdapat didalam Al-Qur’an yang memerintahkan kepada manusia untuk berlaku adil. Perintah itu ada yang bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus dalam bidang-bidang tertentu. Isalnya yang bersifat umum dan ada pula yang bersifat khusus dalam bidanh-bidang tertentu. Misal yang bersifat umum :
•
Artnya : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (QS.An-Nahl:152)
Sedangka yang bersifat khusus, misalnya bersikap adil dalam menegakan hukum (QS. An-Nisa:58), adil dalam mendamaikan konlk (al-hujjurat:9), adil terhadap musuh (QS.Al-Maidah:8), adil dalam rumah tangga (QS.An-Nisa:128) dan adil dalam berkata (QS.Al-An`am: 152).
Rentu masih banyak nash al-Qur`an tentang keadilan dalam seluruh aspek kehidupan yang tidak tersebutkan dalm maklah ini. Tapi cukuplah kita menympulkan bahwa islam mengingankan keadilan yang komprehensif. Yang mencakup keadilan politik, ekonom, hukum dan lainnya.
C. Sebuah catatan
Dari pemaparan diatas, Al-Qur`an memberikan pelajaran dan solusi untuk memberantas korupsi, yang paling utama adalah berangkat dari kesadaran diri sendiri akan keburukan sikap korup dan dampaknya terhadap orang lain, dengan melalui peningkatan kualitas iman dan takwa, kemudin di ikuti dengan sikap pribadi yang jujur, wira`I (tidak terlena akan kemewahan dunia), amanah, serta menegakan keadilan ditengah-tengah masyarakat, walaupun kesimpulan ini adalah sebagian dari solusi Al-Qur`an dan masih banyak lagi pelajaran-pelajaran yang harus kita jalankan.
Wallahu `A`lam Bhisshawab
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Trejemahnya. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Penafsir Al-Qur’an, Jakarta 197.
Bisri Mustafa, dkk, Menolak korupsi membangun Kesalehan Sosial (Jakarta, P3M, tt).
Ilyas, Yunahar, dkk, Korupsi Dalam Perspektif Agama-Agama. Panduan untuk pemuka umat (Yogyakarta , kutub. 2004).
Membangun Gerakan Anti Korupsi Dalam Perspektif Pendidikan, Editor, Andar Nubowo, Rosita Susi Aryanti, Di terbitksn oleh LP3 UMY kerja sama dengan Koalisi Antar Umat Beragama dan Partnership.
Majalah Antikorupsi,Edisi 1-2-6 2003 diterbitkan oleh LP3 UMY dan YCW.
Susanto, Hary, Korupsi Siapa Takut ? Diterbitkan oleh Koalisi Antar Umat Beragama DI Yogyakarta April 2004.
Makalh-makalah seminar yang diselenggarakan oleh LP3 UMY dan YCW.
DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
A. Pendahuluan
Seorang dosen daatng ke kantor salah satu polres di Yogyakarta. Dia ingin membuat SIM A sebagai professional yang sibuk . dia tidak punya waktu banyak untuk meninggalkan kampus. Baru saja kendaraan di farkiran. Dia di sambut dengan ramah. Keramahan itu terasa berlebihan karena dating dari seorang tukang parkir yang biasanya dingin. Ujung-ujungnya si tukang parkir menawarkan jasa untuk menyelesaikan SIM A. Pak dosen dalam waktu cepat dan dengan prosedur singkat. Sang dosen itu memanfaatkan tawaran jasa itu karna dia telah di tunggu di kantor itu oleh tetangga yg kebetulan seorang polentas. Dengan hanya mengumpulkan dua lembar pas foto. Sang dosen langsung di damping sipolantas langsung menuju ke ruang pemotretan guna dibuatnya SIM barunya. . hanya di perlukan waktu tidak lebih dari dua jam dan jadilah SIM A pak dosen tidak ada tes tertulis juga tes praktek tentu saja sang dosen harus membayar lebih untuk bea jasa kilat tersebut. Dan ternyata sang dosen tidak sendiri. Beberapa orang menjalani prosedur yang sama, tanpa sanksi dari pihak manapun di kantor polisi matersebut.
Ilustrasi di atas dapat kita simpulkan bahwa korupsi bukan sekedar persoalan moral, akan tetapi korupsi lebih pada persoalan system, sekarang ini korupsi salah satu masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini, yang dari tahun ketahun masalah ini menunjukan peningkatan yang signifikan, baik volume perkaranyamaupun jumlah kerugian yang di tanggung Negara. Modus operandinya juga semakn beragam dengan pola yang semakin sulit untuk di deteksi dan diungkap. Karna korupsi merupakan masalah global bukan lagi masalah Nasional. Ahmad syafii maarif member komentar terhadap masalah ini, ia mengatakan bahwa masalah korupsa bukan lagi persoalan hukum dan politik saja, maupun soal budaya dan agama, akn tetapi persoalan kesadaran serta persepsi masyarakat tentang ap yang di sebut korupsi. Itulah tugas dari kalangan agamawan . sehingga upaya sinergi yang lebih sistemetis dan terkoordinasi antara ketiga unsure yaitu antara budaya dan agama. Politik dan hukum. Setelah terbangun kesadaran masarakat kemudian bisa di trasformasikan kepada kebijakan publik yang searah serta enindak lanjuti dengan langkah menghukum orang -orang yang melakukan korupsi dengan tegas da hukuman yang seberat-beratnya. Denga ketiga unsure di ats khususnya yang terkait dengan peran agama dalm upaya untuk pemberantasan korupsi.
B. Menaklukan Korupsi dengan penguatan moral- spiritual
Korupsi tidak hanya menyalah gunakan wewenang dan mengambil sesuatu yang bukan haknya, ketika seseorang melakukan sesuatu yang tidak seharusnya tidak dilakukan itu juga korupsi, dalam hal ini korupsi tidak hanya terkait dengan uang, tapi juga terkait dengan waktu. Dalam kehidupan bermasyarakat, ternyat korupsi membuat seseorang menjadi individualis dan berogoisme tinggi.
Peran agama dalam masalah korupsi adalah menjadi moral force (kekuatan moral), sutu sumber nilai-nilai yang baik dan luhur, dalam pandangan ajaran ama islam melalui kitab sucinya dan sunnahnya bahwa perbutan atau sikap korup adalah perbutan yang dilarang bahkan pelakunya akan mendapat siksa dan pedih. Denagn melalui kitab suci al-Qur’an banyak ayat-ayat yang bisa dijadikan pelajaran bagi kita betapa bahayanya perbutan yang tidak jujur serta dampaknya bagi terhadap masyarakat luas. Banyak ayt-ayat al-Qu’ran untuk kita jadikan ibrah sekaligus solusi untukmenghilangkan sikap maupun budaya korup, bagimana al-Qur’an menjelaskan bahwa buday akorupsi akan hilang dari masyarakat kalau kita wau mengikuti petnjuk-petunjuknya, antara lain :
1. Membangun kepribadian yang shalih melalui peningkatan kualitas iman
Para ulama sepakat bahwa ima tidak cukup hanya dengan keyakinan di dalam semata, akan tetapi harus dinyatakan dengan lisan dan dibuktikan dengan aml perbuatan. Iman bukanlah angan-angan kosong atau tamanni akan tetapi harus dibuktikan dengan amal perbuatan dalam seluruh aspek kehidupan.
Iman tidak statis, dapat bertambah statis dan berkurang. Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa iman memang dapat bertambah, Allah berfirman:
Arinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.
Dalam ayat lain :
•
Artinya : Dia-lah yang Telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang Telah ada). dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi, dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (Al-Fath: 4)
Beberapa faktor yang menyebabkn iman bertambah antara lain adalah :ilmu tentang Allah SWT, baik menyagkut asma, sifat-sifat maupun afalnya. Ilmu tentang Rasulullah SAW, baik perjalanan hidup maupun ajarn-ajarannya, dan ilmu kitap suci al- Qurandan seluruh ajaran yang terdapat didalamnya (akhba, amisal, ahkam, dan’ibar).sehubungan dengan ilmu ini allah menyatakan bahwa para ulamalah yang paling takut dengan-Nya. Amal Sholeh dan ketaatan kepada Allah SWT. Baik dalam aspek ibadah maupun muamalat. Semakin banyak aml sholeh seorang semakn menngkat imannya. Juga sebaliknya, semakn banyak kemaksiatan yang ia lakukan, semakin berkurang pula imannya. Dalam hal ini dalam hal ini rumusannya ialah Al-iman yazidu bi t-thaah wa yanqush bi al-mashiyah. (iman bertambah dengan taat dan berkurang dengan maksiat). Bahkan kata nabi iman dan maksiat tidak bisa bergabung sama sekali, nabi menyatakan:tidak berzina seorang pezina, apabila tatkala berzina ia tetap berman, dan tidak mencuri seorang pencuri apabilatatkala mencuri ia tetap beriman. (HR. Muslim). Maka dari itu imanlah yang memberikan kepada kita ketenangan jiwa, karena (1) orang beriman memperkenalkan panggilan fitrah, (2) orang beriman tidak akan menghianati orang lain,(3) orang beriman tidak akan mencuri dan mengambil hak orang lain, (4) orang beriman melihat dengan jelas tujuan daan jalan yang akan di tempuh, (5) orang beriman tidak akan terombang ambingkan antara “kalau”dan “seandainya”, dan lan-lain.
2. Cinta dunia adalah akar korupsi
Dalam sebuah makalah di katakan “hubbudunya rasu kuli khatiatin”artinya cinta dunia adalah pangkal segala malapetaka. Sayangnya justru terkadang tanpa sadar kita amalkan juga, kita di ajarkan bahwa dunia ni adlah hanya sekedar wasilah(jalan) bukan sebagi tujuan akan tetapi Negara yang membangun ekonomi sejak masa orde baru inimeniru barat yang dunia adalah sebagai tujuan semata, pada akhirnya masyarakat kitapun mengikuti masyarakat sana. Allah SWT berfirman :
Artinya : Dan Sesungguhnya hari Kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan) (QS.Ad-dhuha :4) dan dalam ayat lain yang artinya”dunia adalah sebagai tempat permainan”dan “dunia sebagai perhiasan yang menipu” dan masih banyak ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan untuk tidak terlalu cinta pada dunia, dengan sama sekali lupa akan tujuan akhir kita, maka dar itulah dengan orientasi dunia korupsi terjadi.
3. Menjauhkan diri dari sifat batil
Salah satu yang sangat penting uny\tuk kita perbaiki saat ini adalah krisis moral. Di antara berbagai krisis moral yang ada perilaku korup menempati urutan yang tertinggi. Bahkan tidak tanggung-tanggung negri kita menjadi Negara terkorup No . 1 di Asia dan no. 4 di dnia. Apa yang terjadi adalah sebuah cerminan bagi kita semua bahwa kita tidak bisa menjaga amanah yang di gariskan Allah SWT dan tidak menjaga pwrilaku keagamaan kita.
Allah SWT dengan tegas menentang perilaku korup ini. Allah SWT memberikan sebuah gambaran sebagai berikut :
Artinya :Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (An-nisa :29)
Dari ayat tersebut jelas-jelas di sebutkan bahwa Allah SWT melarang kita untuk melakukan tindakan yang tidak sah atau bati. Mengapa demikian ?. karena, tindakan ini merugkan orang lain dan kita berarti juga menganggungkan sifat tamak, kita biasa melihat bagaimana orang tamak itu biasa membahayakan orang lain. Tindakan batil juga dapat menyebabkan orang malas yang akan menjadi penyebab dominant tindakan korupsi. Dengan demikian maka jelaslah bahwa tindakan korupsi itu akan mendatangkan dosa., sebab jelas, dampak praktek korupsi itu, akan di rasakan semua lapisan masyarakat. Kalau sudah terjadi seperti itu, maka negaralah yang akan hancur. Maka dari itu, Allah SWT dengan tegas akan memberi ganjaran bagi orang yang melakukan tindakan korupsi. Allah berfirman :
Artinya : Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah(QS. An-Nisa:30)
Maka dari itu maraknya korupsi adalah bukti nyata ketidakberdayaan kita merubah diri kearah yang lebih baik. Status ini seharusnya membuat kita mal, malu terhadap diri sendiri, maupun malu sebagai umat muslim. Marilah dalam kesempatan ini kita mulai untuk melakukan perubahhan dari kondisi yang memprihatinkan, paling tidak kita harus mengawalinya dengan mempererat solidaritas antar kita dan menghidupkan amar maruf nahi munkar, untuk menuju kehidupan masyarakat kita agar lebih adil dan sejahtera.
4. Bersifat jujur dalam menjalakan amanah
Sala satu sifat nabi yang wajib di teladani oleh umat islam adalah shidiq (al- shidqu) yang berarti jujur atau benar lawan dari dusta atau bohong beliau selalu jujur kapan dan dimana saja, dan dalam keadaan apapun. Allah SWT selalu memelihara segala perkataan dan perbuatan nabi sehinggatidak pernah sekalipun beliau berbohong., jangankan dalam keadaan terjaga, dalam tidurpun nabi tetap di pelihara oleh Allah SWT. Seorang muslim harus selalu jujur, mulai dari hati, perbuatan, sampai perkataan . antara hati dan perkataan harus sama tidak boleh berbeda. Adapun benuk-bentuk kejujuran adalah: (1) jujur dalam perkataan, (2) jujur dalam pergaulan, (3)jujur dalam kemauan., dalam hal ini setiap memutuskan sesuatu seorang muslim harus mempertimbangkan dan menilai terlebih dulu, apakah yang di lakukan itu benar dan bermanfaat. Apabila yakin benar dan bermanfaat dia akan melakukannya tanpa ragu-ragu, tidak akan terpengharuh suara kiri-kanan yang mendukung atau mencelanya. Jika yakin benar dan bulat, untuk melakukannya, lakukanlah jangan ragu dan serahkan hasilnya kepada Allah SWT, Allah berfirman :
•
Artinya: Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya(Ali-imran:159)
Selain bentuk kejujuran diatas, juga jujur dalam berjanji , sebagai Allah berfirman:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu
(QS Al-maidah :1)
diatas ada pula bentuk-bentuk kebohongan yang antara lain:
Selain bentuk-bentuk kejujuran diatas ada pula bentuk-bentuk kebohongan yang antara lain:
a. Khianat
Sifat khianat adalah sejelek-jelek sifat sombong yang dimiliki seseorang yang bahaya akan menimpa orang lain, Allah SWT melarang orang-orang yang beriman berhianat apalagi kepada Allah dan Rasulnya. Sebagaimana dalam firmannya :
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui(QS. Al-Anfal; 27).
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:
•
Artinya: Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa (QS. An-Nisa: 107).
• ••
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan keadilan ( QS. An-Nisa :58)
Sementara para fuqaha dan alim ulama juga telah menegaskan bahwa amanah adalah salah satu syarat bagi seorang pemimpin. Pemimpin yang tidak menpunyai jiwa amanah, tidak selayaknya menjadi pempimpi, apalagi bagi bangsa sebesar Indonesia ini, sebab, hanya dengan amanah segala kewajiban dan tanggung jawab yang menggelayut dipundaknya akan dapat dilaksanakan dengan baik. Dengan itu pula kemaslahatan akan terwujudkan dan dirasakan masyarakat luas.
b. Kesaksian Palsu
Kebohongan jenis ini juga akan mendatangkan kemudaratan yang sangat besar di masyarakat, orang yang tidak mempunyai kesalahan akan di jatuhkan hukuman berat, dan sementara orang yang memang bersalah di bela dan di bebaskan dari tuntutan, semuanya itu karena kesaksian palsu. Oleh sebab itu kesaksian palsu termasuk dalam dosa besar (muttaeaq alaih). Dalam salah satu sifat hamba allah semestinya tidak melakukan kesaksian palsu. Allah berfirman:
Artinya: Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu (QS. Al-Furqan: 72)
c. Fitnah
Fitnah adalah perbuatan yang akan mendatangkan bahaya besar bagi masyarakat, oleh sebab itu Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk tabayyun (Klarifikasi) menyelidiki kebenaran suatu berita sebelum mempercayai berita yang disampaikan oleh orang-orang fasik, supaya idak mendatangkan malapetaka kepada orang yang tidak bersalah Allah berfirman:
•
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat: 6)
Demikian Islam dengan mengajarkan kepada kitauntuk selalu jujur dan menjauhi kebohongan. Maka dari itu marilah kita berantas korupsi dengan menumbuh suburkan sifat jujur dan membudayakannya dalam seluruh aspek kehidupan kita. Marilah kita jadikan kebohongan sebagai musuh utama yang harus kita perangi.
Dalam kamus bahasa Indonesia bahwa adil diartikan sebagai (1) tidak berat sebelah; tidak memihak (2) berpihak kepada yang benar; berpegang kepada kebenaran (3) sepatutnya; tidak sewenang-wenang, beberapa pengertian ini tetap berangkat dari dua makna kat adil diatas, dengan prinsip persamaan seorang yang adil tidak akan memihak kecuali kepada yang benar. Dan dengan azaz keseimbangan seorang yang adil berbuat atau yang memutuskan sesuatu dengan spatutnya dan tidak bertindak sewenang-wenang. Disamping menggunakan kata Al-‘Adl Al-Qur’an juga menggunakan kata Al-Qids dan Al-Mizan untuk pengertian yang sama. Misalnya dalam dua ayat tersebut:
Artinya: Katakanlah, Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan (QS. Al-‘Araf:29)
••
Artinya: Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.(QS. Al-Hadid:52)
Masih banyak yang terdapat didalam Al-Qur’an yang memerintahkan kepada manusia untuk berlaku adil. Perintah itu ada yang bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus dalam bidang-bidang tertentu. Isalnya yang bersifat umum dan ada pula yang bersifat khusus dalam bidanh-bidang tertentu. Misal yang bersifat umum :
•
Artnya : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (QS.An-Nahl:152)
Sedangka yang bersifat khusus, misalnya bersikap adil dalam menegakan hukum (QS. An-Nisa:58), adil dalam mendamaikan konlk (al-hujjurat:9), adil terhadap musuh (QS.Al-Maidah:8), adil dalam rumah tangga (QS.An-Nisa:128) dan adil dalam berkata (QS.Al-An`am: 152).
Rentu masih banyak nash al-Qur`an tentang keadilan dalam seluruh aspek kehidupan yang tidak tersebutkan dalm maklah ini. Tapi cukuplah kita menympulkan bahwa islam mengingankan keadilan yang komprehensif. Yang mencakup keadilan politik, ekonom, hukum dan lainnya.
C. Sebuah catatan
Dari pemaparan diatas, Al-Qur`an memberikan pelajaran dan solusi untuk memberantas korupsi, yang paling utama adalah berangkat dari kesadaran diri sendiri akan keburukan sikap korup dan dampaknya terhadap orang lain, dengan melalui peningkatan kualitas iman dan takwa, kemudin di ikuti dengan sikap pribadi yang jujur, wira`I (tidak terlena akan kemewahan dunia), amanah, serta menegakan keadilan ditengah-tengah masyarakat, walaupun kesimpulan ini adalah sebagian dari solusi Al-Qur`an dan masih banyak lagi pelajaran-pelajaran yang harus kita jalankan.
Wallahu `A`lam Bhisshawab
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Trejemahnya. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Penafsir Al-Qur’an, Jakarta 197.
Bisri Mustafa, dkk, Menolak korupsi membangun Kesalehan Sosial (Jakarta, P3M, tt).
Ilyas, Yunahar, dkk, Korupsi Dalam Perspektif Agama-Agama. Panduan untuk pemuka umat (Yogyakarta , kutub. 2004).
Membangun Gerakan Anti Korupsi Dalam Perspektif Pendidikan, Editor, Andar Nubowo, Rosita Susi Aryanti, Di terbitksn oleh LP3 UMY kerja sama dengan Koalisi Antar Umat Beragama dan Partnership.
Majalah Antikorupsi,Edisi 1-2-6 2003 diterbitkan oleh LP3 UMY dan YCW.
Susanto, Hary, Korupsi Siapa Takut ? Diterbitkan oleh Koalisi Antar Umat Beragama DI Yogyakarta April 2004.
Makalh-makalah seminar yang diselenggarakan oleh LP3 UMY dan YCW.
Langganan:
Postingan (Atom)